Buah manis Piala Presiden untuk pedagang kopi panas
Jakarta (ANTARA) - Tangan Herman cepat meraih satu bungkus kopi saset di hadapan ketika pesanan datang, menggunting ujungnya dan memasukkan serbuk hitam ke dalam gelas plastik.
Matanya lalu mengarah ke termos biru di sisi kanan. Air panas ada di sana, untuk menyeduh. Asapnya mengepul.
"Pakai gula lagi atau tidak?" kata Herman kepada pemesan. Tanya itu lalu disambut gelengan kepala.
Tidak sampai tiga menit, kopi yang rata-rata dihargai Rp5.000 pergelas itu pun tersedia, disodorkan ke pria di sebelah kiri. Sambil mengingatkan kopinya masih panas, Herman menerima uang yang diberikan dan memberikan kembalian.
Saat itu, Sabtu (30/3) sekitar pukul 14.30 WIB, situasi tempat Herman berjualan di kawasan Stadion Patriot Candrabaga, Bekasi, Jawa Barat, memang cukup ramai.
Nuansa warna biru mendominasi stadion, bersumber dari pernak-pernik Arema FC yang dipakai oleh suporter mereka Aremania dan Aremanita. Maklum, di hari itu Arema berlaga menghadapi Bhayangkara FC di babak delapan besar turnamen pramusim Piala Presiden 2019.
Aremania, Aremanita dan pendukung Bhayangkara, Bhara Mania berseliweran sejak siang untuk memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. Mereka bernyanyi-nyanyi sejak di luar stadion, memercikkan keriuhan dan atmosfer semangat.
Pedagang kecil termasuk penjual kopi eceran seperti Herman pun kebagian 'buah' dari keramaian itu. Mereka hampir tidak berhenti melayani pembeli.
"Saat Piala Presiden, saya bisa mendapatkan Rp500-700 ribu sehari. Biasanya hanya Rp200-300 ribu," kata Herman.
Siti, warga Bekasi yang juga berjualan kopi dan minuman saset di Stadion Patriot, juga mengakui pemasukannya meningkat ketika berjualan di Piala Presiden 2019.
Siti berkisah, biasanya dia berjualan di depan rumah. Namun, ketika mendengar ada turnamen Piala Presiden digelar di Stadion Patriot, dia mencoba peruntungan dengan berpindah lokasi dagang.
Hasilnya ternyata lumayan. Jika di rumah dia mendapatkan Rp50.000 perhari, di Patriot saat Piala Presiden Rp70.000 perhari masuk ke pundi-pundinya.
"Di sini mendingan, Mas," tutur Siti.
Ekonomi Rakyat
Sejak digelar pertama kali tahun 2015, turnamen pramusim Piala Presiden memang bukan cuma soal sepak bola belaka.
Penyelenggara, yang dipegang oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sejak tahun 2017, selalu berharap kompetisi ini juga memengaruhi banyak aspek secara positif seperti soal ekonomi kerakyatan, transparansi anggaran, kejujuran pertandingan dan lainnya.
Dalam prosesnya, tujuan-tujuan itu menjadi marwah yang harus dijaga setiap penyelenggaraan Piala Presiden.
Termasuk di edisi tahun 2019, Ketua Panitia Pengarah (SC) Piala Presiden Maruarar Sirait tidak ingin turnamen pramusim itu melenceng dari nilai yang sudah digenggam erat sejak awal.
"Transparansi mesti dipertahankan. Selain itu, turnamen juga harus bisa meningkatkan ekonomi kerakyatan, memerhatikan para pedagang kaki lima dan asongan. Piala Presiden harus menjadi hiburan yang berkualitas untuk rakyat," ujar Maruarar.
Sebagai bentuk keteguhan melaksanakan 'norma' tersebut, sama seperti musim-musim sebelumnya, Piala Presiden 2019 juga selalu mencatat jumlah pedagang kaki lima dan pedagang asongan yang beraktivitas di stadion per-laga.
Jumlahnya tidak pernah sedikit. Rata-rata ada lebih dari 100 pedagang asongan dan 100 pedagang kaki lima di setiap pertandingan mulai fase grup sampai babak gugur.
Itulah kenapa ketika merentangkan pandang di stadion lokasi laga Piala Presiden, deretan pedagang kecil seperti tukang bakso, gorengan, kopi eceran, penjual 'jersey' dan lainnya selalu tampak meramaikan suasana.
Mereka bermimpi sama yaitu bisa mendapatkan rezeki dari ribuan suporter yang datang demi klub favorit.
Itu yang membuat pedagang kecil seperti Herman berharap turnamen layaknya Piala Presiden rutin digelar. Sebab, penghasilan dari sana sangat berharga untuk membantu roda perekonomian keluarga.
"Kalau bisa turnamen ini diadakan terus," tutur Herman.
Industri
Gelaran Piala Presiden selalu gemerlap setiap tahunnya. Untuk tahun 2019, panitia menganggarkan dana lebih dari Rp40 miliar untuk memutar turnamen. Total hadiah untuk tim terbaik, peringkat satu sampai empat, menyentuh angka Rp7,5 miliar.
Namun, tidak ada sepeser pun uang tersebut dari pemerintah, termasuk perusahaan BUMN. Keputusan ini dibuat agar kompetisi berlangsung seprofesional mungkin dan industri sepak bola berjalan dengan baik.
Dan, ketika berbicara tentang industri sepak bola, kita tidak hanya menyinggung soal 'pemain-pemain besar' seperti perusahaan media, iklan, sepatu, jersey dan sejenisnya.
Herman, Siti dan pedagang kecil lainnya juga berandil penting. Tanpa mereka, warna-warni industri sepak bola sulit dirasakan semua lapisan masyarakat.
Sepak bola Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Lembaga riset Nielsen (2017) mencatat, 77 persen dari jumlah populasi Indonesia, atau lebih dari 200 juta orang, menyatakan diri menyukai sepak bola.
Jumlah itu terbesar kedua di dunia setelah Nigeria (83 persen). Sebagai perbandingan, di negara asal sepak bola modern, Inggris, hanya 52 persen persen dari jumlah penduduk yang menyukai sepak bola.
Akan tetapi, dengan jumlah pencinta sepak bola yang sebesar itu, Inggris berhasil mengolah industri si kulit bundarnya dengan efektif sehingga mendatangkan keuntungan besar untuk negara.
Catatan perusahaan firma multinasional Ernst & Young, pada tahun 2013-2014, Liga Inggris berkontribusi pada pemasukan pajak sebesar 2,4 miliar poundsterling (sekitar Rp44 triliun) kepada negara, menciptakan 100 ribu lapangan pekerjaan dan menambahkan 3,4 miliar poundsterling (sekitar Rp62 triliun) untuk produk domestik bruto (GDP) Inggris.
Sayangnya, sulit untuk melacak pemasukan industri sepak bola di Indonesia. Akan tetapi, laman statistik pasar yang berbasis di Jerman statista.com menyebut bahwa pemasukan dari acara-acara olahraga di tahun 2018 sekitar 74 juta dolar AS (sekitar Rp1 triliun).
Nilai itu tentu masih jauh dibandingkan Inggris, meski dari sisi banyaknya pencinta sepak bola, Indonesia jauh lebih unggul.
Akan tetapi, selalu ada ruang untuk berkembang. Syaratnya, seluruh elemen sepak bola Indonesia bersatu dan memiliki visi untuk maju bersama-sama.
Seperti pernah dikatakan pemain timnas Kolombia yang kini bermain di Bayern Muenchen, James Rodriguez. "Dalam sepak bola, kalian bisa saja menang atau kalah. Yang penting kita selalu bergandengan tangan, dengan satu semangat yang sama dalam diri kita".
Matanya lalu mengarah ke termos biru di sisi kanan. Air panas ada di sana, untuk menyeduh. Asapnya mengepul.
"Pakai gula lagi atau tidak?" kata Herman kepada pemesan. Tanya itu lalu disambut gelengan kepala.
Tidak sampai tiga menit, kopi yang rata-rata dihargai Rp5.000 pergelas itu pun tersedia, disodorkan ke pria di sebelah kiri. Sambil mengingatkan kopinya masih panas, Herman menerima uang yang diberikan dan memberikan kembalian.
Saat itu, Sabtu (30/3) sekitar pukul 14.30 WIB, situasi tempat Herman berjualan di kawasan Stadion Patriot Candrabaga, Bekasi, Jawa Barat, memang cukup ramai.
Nuansa warna biru mendominasi stadion, bersumber dari pernak-pernik Arema FC yang dipakai oleh suporter mereka Aremania dan Aremanita. Maklum, di hari itu Arema berlaga menghadapi Bhayangkara FC di babak delapan besar turnamen pramusim Piala Presiden 2019.
Aremania, Aremanita dan pendukung Bhayangkara, Bhara Mania berseliweran sejak siang untuk memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. Mereka bernyanyi-nyanyi sejak di luar stadion, memercikkan keriuhan dan atmosfer semangat.
Pedagang kecil termasuk penjual kopi eceran seperti Herman pun kebagian 'buah' dari keramaian itu. Mereka hampir tidak berhenti melayani pembeli.
"Saat Piala Presiden, saya bisa mendapatkan Rp500-700 ribu sehari. Biasanya hanya Rp200-300 ribu," kata Herman.
Siti, warga Bekasi yang juga berjualan kopi dan minuman saset di Stadion Patriot, juga mengakui pemasukannya meningkat ketika berjualan di Piala Presiden 2019.
Siti berkisah, biasanya dia berjualan di depan rumah. Namun, ketika mendengar ada turnamen Piala Presiden digelar di Stadion Patriot, dia mencoba peruntungan dengan berpindah lokasi dagang.
Hasilnya ternyata lumayan. Jika di rumah dia mendapatkan Rp50.000 perhari, di Patriot saat Piala Presiden Rp70.000 perhari masuk ke pundi-pundinya.
"Di sini mendingan, Mas," tutur Siti.
Ekonomi Rakyat
Sejak digelar pertama kali tahun 2015, turnamen pramusim Piala Presiden memang bukan cuma soal sepak bola belaka.
Penyelenggara, yang dipegang oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sejak tahun 2017, selalu berharap kompetisi ini juga memengaruhi banyak aspek secara positif seperti soal ekonomi kerakyatan, transparansi anggaran, kejujuran pertandingan dan lainnya.
Dalam prosesnya, tujuan-tujuan itu menjadi marwah yang harus dijaga setiap penyelenggaraan Piala Presiden.
Termasuk di edisi tahun 2019, Ketua Panitia Pengarah (SC) Piala Presiden Maruarar Sirait tidak ingin turnamen pramusim itu melenceng dari nilai yang sudah digenggam erat sejak awal.
"Transparansi mesti dipertahankan. Selain itu, turnamen juga harus bisa meningkatkan ekonomi kerakyatan, memerhatikan para pedagang kaki lima dan asongan. Piala Presiden harus menjadi hiburan yang berkualitas untuk rakyat," ujar Maruarar.
Sebagai bentuk keteguhan melaksanakan 'norma' tersebut, sama seperti musim-musim sebelumnya, Piala Presiden 2019 juga selalu mencatat jumlah pedagang kaki lima dan pedagang asongan yang beraktivitas di stadion per-laga.
Jumlahnya tidak pernah sedikit. Rata-rata ada lebih dari 100 pedagang asongan dan 100 pedagang kaki lima di setiap pertandingan mulai fase grup sampai babak gugur.
Itulah kenapa ketika merentangkan pandang di stadion lokasi laga Piala Presiden, deretan pedagang kecil seperti tukang bakso, gorengan, kopi eceran, penjual 'jersey' dan lainnya selalu tampak meramaikan suasana.
Mereka bermimpi sama yaitu bisa mendapatkan rezeki dari ribuan suporter yang datang demi klub favorit.
Itu yang membuat pedagang kecil seperti Herman berharap turnamen layaknya Piala Presiden rutin digelar. Sebab, penghasilan dari sana sangat berharga untuk membantu roda perekonomian keluarga.
"Kalau bisa turnamen ini diadakan terus," tutur Herman.
Industri
Gelaran Piala Presiden selalu gemerlap setiap tahunnya. Untuk tahun 2019, panitia menganggarkan dana lebih dari Rp40 miliar untuk memutar turnamen. Total hadiah untuk tim terbaik, peringkat satu sampai empat, menyentuh angka Rp7,5 miliar.
Namun, tidak ada sepeser pun uang tersebut dari pemerintah, termasuk perusahaan BUMN. Keputusan ini dibuat agar kompetisi berlangsung seprofesional mungkin dan industri sepak bola berjalan dengan baik.
Dan, ketika berbicara tentang industri sepak bola, kita tidak hanya menyinggung soal 'pemain-pemain besar' seperti perusahaan media, iklan, sepatu, jersey dan sejenisnya.
Herman, Siti dan pedagang kecil lainnya juga berandil penting. Tanpa mereka, warna-warni industri sepak bola sulit dirasakan semua lapisan masyarakat.
Sepak bola Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Lembaga riset Nielsen (2017) mencatat, 77 persen dari jumlah populasi Indonesia, atau lebih dari 200 juta orang, menyatakan diri menyukai sepak bola.
Jumlah itu terbesar kedua di dunia setelah Nigeria (83 persen). Sebagai perbandingan, di negara asal sepak bola modern, Inggris, hanya 52 persen persen dari jumlah penduduk yang menyukai sepak bola.
Akan tetapi, dengan jumlah pencinta sepak bola yang sebesar itu, Inggris berhasil mengolah industri si kulit bundarnya dengan efektif sehingga mendatangkan keuntungan besar untuk negara.
Catatan perusahaan firma multinasional Ernst & Young, pada tahun 2013-2014, Liga Inggris berkontribusi pada pemasukan pajak sebesar 2,4 miliar poundsterling (sekitar Rp44 triliun) kepada negara, menciptakan 100 ribu lapangan pekerjaan dan menambahkan 3,4 miliar poundsterling (sekitar Rp62 triliun) untuk produk domestik bruto (GDP) Inggris.
Sayangnya, sulit untuk melacak pemasukan industri sepak bola di Indonesia. Akan tetapi, laman statistik pasar yang berbasis di Jerman statista.com menyebut bahwa pemasukan dari acara-acara olahraga di tahun 2018 sekitar 74 juta dolar AS (sekitar Rp1 triliun).
Nilai itu tentu masih jauh dibandingkan Inggris, meski dari sisi banyaknya pencinta sepak bola, Indonesia jauh lebih unggul.
Akan tetapi, selalu ada ruang untuk berkembang. Syaratnya, seluruh elemen sepak bola Indonesia bersatu dan memiliki visi untuk maju bersama-sama.
Seperti pernah dikatakan pemain timnas Kolombia yang kini bermain di Bayern Muenchen, James Rodriguez. "Dalam sepak bola, kalian bisa saja menang atau kalah. Yang penting kita selalu bergandengan tangan, dengan satu semangat yang sama dalam diri kita".