Ini alasan Mahkamah Agung terkait minimnya hakim agung perempuan

id Takdir Rahmadi

Ini alasan Mahkamah Agung terkait minimnya hakim agung perempuan

Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA), Takdir Rahmadi. (cc)

Jakarta, (ANTARA) - Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Takdir Rahmadi mengatakan minimnya jumlah hakim agung perempuan yang tidak memenuhi kuorum 30 persen, seharusnya tidak bisa dijadikan indikator adanya diskriminasi perempuan di MA.

"Itu tidak bisa dijadikan indikator, karena keberpihakan terhadap perempuan dalam pemilihan hakim agung bisa menjadi isu politik bahwa pimpinan MA meminta hakim agung perempuan," ujar Takdir di Gedung Mahkamah Agung Jakarta, Jumat.

Takdir mengatakan jumlah hakim agung perempuan yang tidak mencapai kuorum 30 persen, tidak hanya menjadi ranah MA semata, namun terdapat pihak lain seperti Komisi Yudisial (KY) yang melakukan seleksi dan DPR yang menyetujui.

Untuk persoalan eksternal seperti rekrutmen hakim agung, Takdir menilai bahwa untuk mencapai 30 persen kuorum jumlah hakim agung perempuan, perlu ada dorongan untuk KY dan DPR dalam visi keberpihakan terhadap perempuan.

"Artinya KY memberikan calon hakim agung perempuan untuk disetujui oleh DPR," kata Takdir.

Namun Takdir memastikan dalam proses mutasi dan promosi hakim tidak pernah terjadi diskriminasi, karena dalam prosesnya pimpinan MA selalu menyertakan hakim agung perempuan untuk dimintai pendapat dan pertimbangan.

"Untuk persoalan ini (mutasi promosi) kami tidak ada perbedaan gender, karena selalu dipastikan ada satu hakim agung perempuan untuk memberi pertimbangan sehingga proses tetap adil," kata Takdir.

Pada saat ini MA hanya memiliki empat orang hakim agung perempuan yang menjabat sebagai anggota, dari total 48 hakim agung yang ada pada saat ini. Keempat hakim agung tersebut adalah Sri Murwahyuni, Nurul Elmiyah, Desnayeti, dan Maria Anna Samiyati.

"Tapi perlu diingat MA pernah memiliki pimpinan perempuan, yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial yaitu Mariana Sutadi, ini bukti bahwa tidak pernah ada perbedaan atau diskriminasi gender di MA," pungkas Takdir. (*)