Novanto heran jaksa menuntutnya paling tinggi dari terdakwa lain

id korupsi ktp-e

Novanto heran jaksa menuntutnya paling tinggi dari terdakwa lain

Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (kiri) mendengarkan kesaksian Wakil Ketua MPR Mahyudin dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/3). Dalam sidang tersebut penasehat hukum terdakwa menghadirkan saksi meringankan yaitu Wakil Ketua MPR Mahyudin, saksi ahli hukum tata negara Universitas Padjajaran I Gede Panca Astawa serta ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/18.) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/18./)

Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto mempertanyakan tuntutan terhadap dirinya paling tinggi dibandingkan terdakwa-terdakwa perkara korupsi KTP-elektronik (KTP-e) lainnya.

"Dari keseluruhan terdakwa KTP-e yang sudah disidangkan, saya lah terdakwa yang dituntut paling tinggi. Sepanjang persidangan saya sudah mencoba untuk bersikap kooperatif. Pada saat menjadi saksi di penyidikan pun saya sudah bersikap kooperatif dengan menyampaikan semua apa yang saya ketahui," kata Novanto.

Hal tersebut dikatakannya saat membacakan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.

"Saya menyadari betul di luar sana begitu banyak cemoohan dan cacian yang ditujukan kepada saya dan keluarga, khususnya setelah pemeriksaan terdakwa. Apa yang saya sampaikan pada pemeriksaan terdakwa dianggap hanya bualan semata. Penyebutan nama-nama penerima uang dianggap omong kosong belaka," tuturnya.

Ia menyatakan bahwa apa yang disampaikannya soal nama-nama penerima dana KTP-e didengarnya dari Made Oka Masagung pada saat berkunjung ke kediamannya di Jalan Wijaya Jakarta Selatan bersama Andi Narogong.

"Kedua, pada saat dikonfrontir dengan Irvanto Hendra Pambudi di depan penyidikan pada 21 Maret 2018. Terbukti pada saat ini imbauan saya kepada Irvanto untuk bersikap kooperatif ternyata berbuah manis. Pada saat saya dikonfrontir untuk yang kedua kalinya dengan Irvanto pada 6 Maret 2018, Irvanto menceritakan proses penyerahan uang kepada beberapa orang anggota DPR," ujarnya.

Ia pun mengharapkan kepada Made Oka Masagung juga bersikap kooperaif sebagaimana yang sudah dilakukan Irvanto agar persoalan ini menjadi terang benderang dan keadilan bisa ditegakkan.

Selain itu, Novanto juga menyinggung soal permohonan "justice collaborator" yang juga belum dikabulkan.

"Walaupun Jaksa Penuntut Umum berkesimpulan bahwa permohonan "justice collaborator" saya belum dapat dikabulkan, namun saya sudah berjanji kepada diri untuk tetap membantu Penyidik KPK dan Jaksa Penuntut Umum dalam menuntaskan kasus korupsi KTP-e, akan memberikan keterangan yang signifikan dalam mengungkap kasus korupsi KTP-e sampai tuntas, dan akan mengungkap pelaku-pelaku lain sepanjang yang saya ketahui," tuturnya.

Sebelumnya, mantan Ketua DPR Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-Elektronik tahun anggaran 2011-2012.

Selain hukuman badan, jaksa KPK juga menuntut agar Setya Novanto membayar pidana pengganti senilai 7,3 juta dolar AS dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan subsider 3 tahun kurungan dan pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menyelesaikan hukuman pokoknya.

Dalam perkara ini Setnov diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-E. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura, Made Oka Masagung.

Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp2,3 triliun.***2***