Indeks demokrasi Sumbar dinilai buruk, gubernur kritik BPS

id Gubernur Irwan Prayitno,Indeks Demokrasi Sumbar Buruk

Indeks demokrasi Sumbar dinilai buruk, gubernur kritik BPS

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno bersama Kepala BPS Sukardi. (ANTARA SUMBAR/Istimewa)

Padang, (Antaranews Sumbar) - Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Irwan Prayitno mengkritisi Badan Pusat Statistik (BPS) terkait penilaian Indeks Demokrasi daerah itu yang masuk kategori buruk dengan nilai 54,41.

Menurutnya saat memberikan sambutan pada acara Koordinasi dan Sosialisasi Penyusunan Disagregasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) di Padang, Selasa, penilaian BPS disandarkan pada data dan diolah menggunakan metodologi tertentu, namun indikatornya tidak benar.

"Itu datanya ada, tapi indikatornya tidak benar," ujarnya.

Ia menjelaskan menjadikan kebijakan pemerintah daerah sebagai salah satu indikator untuk menilai indeks demokrasi adalah sebuah kekeliruan.

"Masa perangi Lesbi Gay Biseksual Transgender (LBGT) dinilai tidak demokrasi", "Masa menyuruh anak-anak mengaji agar hafal Quran tidak demokrasi", "Masa menyelenggarakan pesantren kilat tidak demokrasi", "Masa suruh anak-anak perempuan pakai kerudung tidak demokrasi," lanjutnya.

Arti demokrasi dalam kaitannya dengan pengambilan kebijakan adalah kondisi di mana kebijakan diambil setelah melalui proses musyawarah dan disepakati dengan mufakat atau kebijakan tertentu diambil atas persetujuan mayoritas masyarakat di suatu lingkungan tertentu.

Hal itu merupakan makna esensial yang diterima secara universal. Karena itu, jika sebuah kebijakan pemerintah diterima oleh mayoritas warganya, maka kebijakan tersebut tidak bisa disebut sebagai tidak demokratis.

"Suara terbanyak. Itu kan yang demokrasi," tambahnya.

Berpijak pada definisi itu, menyoroti sebuah kebijakan sebagai sebuah indikator tanpa mempertimbangkan proses pengambilannya dan penerimaan masyarakat atasnya akan mengantar peneliti manapun pada simpul yang keliru.

"Jadi BPS meletakkan indikator tentang demokrasi itu tidak tepat. Coba indikatornya setuju atau tidaknya masyarakat atas kebijakan tersebut, lain hal apabila 51 persen masyarakat Sumbar tidak setuju anak-anaknya berkerudung, tidak senang anak-anaknya pintar baca Quran, namun (Pemprov) tetap menjalankan kebijakan tersebut, itu baru tidak demokratis," jelasnya.

Selain indikator yang dipilih BPS, Irwan Prayitno juga menyayangkan cara BPS menafsirkan data serta narasumber yang ditunjuk untuk menginterpretasikan data.

Meski tidak mengurai panjang lebar apa yang ia maksud dengan tafsir data yang tidak tepat. Namun, ia dengan tegas menyatakan narasumber yang dipilih BPS adalah narasumber yang sekuler.

"Saya pesan ke BPS, data selain harus diolah dengan metode yang tepat, menafsirkannya juga harus tepat. Lagipula, untuk Indeks Demokrasi ini BPS narasumbernya sekuler," katanya.

Dua hal tersebut penafsiran data yang tidak tepat dan narasumber sekuler sedikit banyak berkontribusi pada kekeliruan survey BPS.

"Surveynya jadi subjektif, tidak objektif," lanjutnya.

Indeks Demokrasi untuk provinsi di Indonesia di rilis BPS pada September 2017.

Kepala BPS Sukardi menyebutkan BPS survey yang dilakukan BPS menggunakan metode yang telah teruji dan hasilnya diakui secara nasional. (*)