Penjelasan IAIN Bukittinggi terkait larangan bercadar

id Larangan Bercadar,IAIN Bukittinggi

Penjelasan IAIN Bukittinggi terkait larangan bercadar

Rektor IAIN Bukittinggi, Ridha Ahida(tengah) memberikan keterangan mengenai teguran yang diberikan pihak kampus pada seorang dosen karena menyalahi kode etik berpakaian, Jumat(16/3). (ANTARA SUMBAR/ Ira Febrianti)

Sampai sekarang kami tetap mengimbau dosen dan mahasiswa agar komitmen menjalankan kode etik dalam berpakaian
Bukittinggi, (Antaranews Sumbar) - Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar), Ridha Ahida menyatakan pihaknya tetap berpegang pada kode etik berpakaian bagi dosen dan mahasiswa ketika beraktivitas di kampus.

"Sampai sekarang kami tetap mengimbau dosen dan mahasiswa agar komitmen menjalankan kode etik dalam berpakaian," katanya di Bukittinggi, Jumat.

Hal itu ia sampaikan berkaitan dengan teguran yang diberikan kepada seorang dosen PNS di lembaga tersebut, Hayati Syafri, yang memakai penutup wajah atau cadar dalam aktivitasnya ketika mengajar di kampus.

Ia menerangkan, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang pengelolaan perguruan tinggi, perguruan tinggi punya otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan tridarma perguruan tinggi.

"Karena itu IAIN Bukittinggi punya statuta, pedoman akademik dan kode etik dosen dan mahasiswa gunanya agar aktivitas di kampus terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan," katanya.

Berkaitan dengan teguran pada seorang dosen karena menggunakan cadar, ia menerangkan hal itu sudah dibahas bersama dengan dewan kehormatan kampus dan dosen bersangkutan pada 15 Januari 2018.

Sesuai hasil diskusi, keterangan dari dosen bersangkutan dan peraturan yang berlaku di kampus, dewan kehormatan menyatakan dosen harus berpakaian formal dan sesuai syariat Islam.

"Pakaian yang digunakan dosen bersangkutan tidak termasuk pakaian formal di IAIN Bukittinggi. Di samping itu dosen harus punya kemampuan pedagogis dan profesional," katanya.

Dengan memakai cadar, dosen tersebut dinilai tidak maksimal ketika mengajar terlebih bidang ilmu yang diajarkan adalah bahasa yang membutuhkan ekspresi wajah dan intonasi jelas.

"Karena itu, saudari Hayati Syafri diimbau dan dibina agar tidak menutup wajah selama bertugas di kampus IAIN," katanya.

Saat ini, dosen tersebut telah meminta waktu untuk menentukan langkah yang akan diambilnya berkaitan dengan penegakan kode etik berpakaian di kampus itu.

"Oleh sebab permintaan waktu, yang bersangkutan dibebastugaskan dari tugas mengajar namun haknya berupa gaji dan tunjangan tetap kami berikan," ujarnya.

Sebelumnya, pihak keluarga Hayati Syafri melapor ke Ombudsman RI Perwakilan Sumbar karena dinilai tidak mematuhi tata cara berpakaian sebagai dosen dengan memakai cadar ke kampus.

Dari penjelasan pihak keluarga yang diwakili oleh suami, Hayati Syafri merupakan dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah mengajar sejak 2007 dan baru mengenakan cadar selama tiga bulan terakhir.

Asisten Ombudsman RI Perwakilan Sumbar Yunesa Rahman mengatakan pihaknya akan rapat memastikan apakah laporan yang masuk ini merupakan ranah Ombudsman atau tidak. "Sesuai aturan yang ada, kami akan proses selama tujuh hari untuk menindaklanjuti laporan tersebut," katanya

Menurutnya jika laporan tersebut merupakan wewenangnya Ombudsman, maka pihaknya akan menindaklanjutinya dengan melakukan investigasi ke kampus IAIN Bukittinggi, dan setelah itu memanggil pihak kampus IAIN Bukittinggi.