Laporan adanya kuburan massal di Rakhine, bagi AS "sangat, sangat menggangu"

id kuburan

Laporan adanya kuburan massal di Rakhine, bagi AS "sangat, sangat menggangu"

Salah satu lokasi kuburan massal. (FOTO ANTARA SUMBAR/Iggoy el Fitra)

negara itu telah mengonfirmasi adanya lebih dari lima kuburan massal yang sebelumnya tidak dilaporkan di desa Gu Dar Pyin, Myanmar, melalui wawancara dengan korban selamat di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh dan melalui video-video telepon genggam
Washington, (Antaranews Sumbar) - Adanya laporan terbaru tentang kuburan massal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tempat militer dituduh melakukan kekejaman terhadap minoritas Muslim Rohingya telah membuat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Kamis, mengatakan negaranya "sangat, sangat terganggu".

Kantor berita AS, Associated Press (AP) melaporkan bahwa negara itu telah mengonfirmasi adanya lebih dari lima kuburan massal yang sebelumnya tidak dilaporkan di desa Gu Dar Pyin, Myanmar, melalui wawancara dengan korban selamat di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh dan melalui video-video telepon genggam.

"Kami sangat, sangat terganggu oleh laporan akan kuburan massal tersebut," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert pada sebuah taklimat berita rutin. "Kami melihat ini dengan sangat hati-hati. Kami tetap fokus untuk membantu memastikan pertanggungjawaban bagi mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia."

Ia mengatakan bahwa laporan tersebut menyoroti perlunya pihak berwenang di Myanmar untuk bekerja sama dengan penyidik yang independen dan dapat dipercaya atas tuduhan kekejaman di negara bagian Rakhine utara.

Sebelumnya, Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok lain mendesakkan pemikiran kembali rencana mengirim pulang pengungsi Rohingya ke Myanmar di tengah kekhawatiran akan pemulangan paksa tanpa perlindungan.

Perlindungan dimaksudkan oleh lembaga itu antara lain adalah jaminan memperoleh kewarganegaraan setelah mereka melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari pertumpahan darah di kampung halamannya.

Seruan tersebut terjadi saat Bangladesh menunda pemulangan Rohingya, yang sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan, ke Myanmar, karena penyusunan dan pemastian daftar yang akan dipulangkan tidak lengkap.

Lebih dari 655.500 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh pada tahun lalu setelah militer Myanmar melakukan penindakan keras di bagian utara negara bagian Rakhine, di tengah laporan saksi tentang pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan, sebagai reaksi atas serangan militan terhadap pasukan keamanan pada 25 Agustus tahun lalu.

Banyak orang di Myanmar yang beragama Hindu menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. PBB menggambarkan tindakan keras Myanmar sebagai pembersihan etnis Rohingya, yang disangkal oleh Myanmar.

Myanmar dan Bangladesh sepakat pada awal tahun ini untuk menyelesaikan repatriasi sukarela para pengungsi dalam dua tahun. Myanmar mengatakan telah mendirikan dua pusat penerimaan dan sebuah tempat penampungan sementara di dekat perbatasan di negara bagian Rakhine untuk menerima kedatangan pertama.

Human Rights Watch, sebuah organisasi non-pemerintah, mengatakan pada Selasa bahwa Bangladesh harus menangguhkan rencana tersebut sepenuhnya karena hal itu "mengancam keamanan dan kesejahteraan para pengungsi."

Rencana tersebut telah memicu kekhawatiran di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh bahwa orang-orang mungkin dipaksa untuk kembali meskipun tidak memiliki jaminan terkait keamanan mereka.(*)