Saatnya Masyarakat Mendapatkan Layanan Publik Yang Berkualitas

id layanan publik

Saatnya  Masyarakat  Mendapatkan Layanan Publik Yang Berkualitas

Ilustrasi pernikahan. Antara Foto/Anis Efizudin

Matahari terus bergerak, orang yang ditunggu tak kunjung kelihatan batang hidungnya, Amrin panik bercampur malu.
Padang, (Antaranews Sumbar) - Sambil mengusap peluh yang mengalir di dahi, pria berbatik coklat itu terlihat gelisah sembari tak henti memencet telepon seluler, mencoba menghubungi seseorang sejak 30 menit terakhir.

Hari itu Amrin (56) akan menikahkan putri keduanya, namun sudah tiga jam menunggu petugas KUA yang akan memimpin acara tak kunjung datang.

Semula dijadwalkan prosesi pernikahan akan digelar pukul 09.00 WIB di salah satu masjid yang ada di kompleks rumahnya.

Calon pengantin pria beserta keluarganya pun telah tiba 15 menit lebih awal dari jadwal untuk mengikuti prosesi sakral mengikat janji suci di hadapan penghulu.

Namun apa hendak dikata, waktu sudah menunjukan pukul 12.00 WIB, tiga jam berlalu keluarga besar itu terus menunggu, petugas KUA tak kunjung tiba.

Tepat pukul 12.30 WIB waktu zuhur pun masuk. "Bapak-bapak, ibu-ibu para tamu kita shalat zuhur dulu, setelah itu baru kita mulai acaranya," ucap pembawa acara atau MC.

Pukul 13.00 WIB Amrin kembali menelepon seseorang, namun hanya terdengar nada "tuuut" panjang tanpa ada jawaban. Selama 30 menit berlalu belum ada tanda-tanda petugas KUA itu akan tiba.

Ia kian gelisah. "Bagaimana ini pak, sudah hampir jam 14, jadi anak kita menikah?" tanya keluarga calon pengantin pria kepadanya.

Tiba-tiba telepon Amrin berdering. "Mohon maaf pak saya terlambat, jam 14 saya ke sana," ucap suara di ujung telepon mantap.

Ia pun sedikit lega dan menyampaikan sebentar lagi petugas KUA akan tiba.

Ternyata hingga pukul 15.30 WIB petugas itu tak kunjung datang. Padahal tiga hari sebelumnya petugas KUA tersebut sudah menyatakan komitmen bisa hadir jam 09.00 WIB.

Pesan singkat masuk ke telepon genggam Amrin. "Pak saya ke lokasi jam 16.00 WIB," bunyi pesan singkat petugas itu.

Rombongan pengantin itu pun menunaikan shalat ashar di masjid itu. Sudah dua waktu shalat berlalu hingga pukul 17.00 WIB orang yang dinanti tak juga menginjakan kaki di masjid.

Matahari terus bergerak, orang yang ditunggu tak kunjung kelihatan batang hidungnya, Amrin panik bercampur malu.

Tak hilang akal ia akhirnya menghubungi Ombudsman perwakilan Sumbar menyampaikan keluhan. Di ujung telepon komisioner Ombudsman mengatakan akan coba menghubungi Kepala Kemenag setempat.

Dalam waktu 30 menit kemudian Kepala KUA tiba mengambil alih pelaksanaan prosesi. Usut punya usut ternyata petugas KUA ada acara di Padang. Kepala KUA setempat pun meminta maaf dan menyampaikan petugas nikah terbatas, sementara yang menikah pada hari itu cukup banyak.

Peristiwa yang dialami Amrin menyiratkan masih buruknya layanan publik yang diterima masyarakat dan mereka tak bisa berbuat banyak.

"Kami juga tidak menyangka, petugas KUA terlambat datang orang mengadu ke Ombudsman," kata Pelaksana Tugas Kepala Ombudsman perwakilan Sumbar Adel Wahidi.

Selaku lembaga negara pengawas layanan publik yang hadir sejak lima tahun lalu, kini keberadaann Ombudsman mulai menjadi perhatian sebagai tempat mengadu warga.

Ombudsman pewakilan Sumatera Barat mencatat pada 2017 sektor infrastruktur dan perhubungan paling banyak dilaporkan oleh warga mencapai 62 pengaduan dari total 390 laporan yang diterima.

"Ini merupakan perkembangan baru karena biasanya yang paling banyak dilaporkan adalah soal pendidikan sekarang sudah beralih ke infrastruktur," kata Adel.

Menurutnya laporan soal infrastruktur yang paling banyak diadukan adalah soal jalan berlubang, lampu jalan tidak berfungsi, kemacetan, jembatan ambruk hinggga pembangunan kios yang dinilai lambat.

"Artinya masyarakat semakin sadar dengan haknya, kalau ada jalan berlubang namun respons dari pemangku kepentingan lamban maka mereka melapor ke Ombudsman," katanya.

Ia mengatakan setelah laporan masuk Ombudsman segera menyurati pemangku kepentingan dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum dan biasanya respons mereka cukup cepat.

"Bahkan ada pegawai khusus yang ditugaskan menindaklanjuti laporan dari ombudsman," katanya.

Kemudian setelah infrastruktur persoalan terbanyak yang dilaporkan masyarakat adalah bidang pendidikan mencapai 55 laporan.

Untuk bidang pendidikan mulai dari pungutan dengan dalih untuk persiapan ujian nasional berbasis komputer, uang perpisahan, pembelian LKS hingga honor guru sukarela.

Ia menyampaikan temuan yang paling banyak dilaporkan masyarakat untuk tingkat pendidikan SMA sederajat karena saat ini telah beralih status di bawah kewenangan provinsi.

"Dulu waktu masih di bawah kewenangan kabupaten dan kota SMK juga dapat dana BOS daerah dengan nominal Rp400 ribu per siswa sehingga mereka tidak perlu lagi memungut biaya tambahan karena juga ada BOS dari pusat," katanya.

Sementara saat ini pihak SMA kesulitan karena tidak ada lagi BOS daerah, lanjut dia.

Berikutnya sepanjang 2017 laporan bidang pertanahan mencapai 46 laporan diikuti bidang kepolisian 29 laporan, kesehatan 19 laporan, lingkungan hidup 10 laporan.

Adel menyampaikan dugaan maladministrasi yang paling banyak dilaporkan berupa tidak memberikan pelayanan sebanyak 153 laporan, penyimpangan prosedur 78 laporan, penundaan berlarut 52 laporan, permintaan imbalan uang barang dan jasa 36 laporan, petugas tidak kompeten 15 laporan.

Dari 390 laporan yang paling banyak dilaporkan adalah pemerintah daerah 160 laporan, instansi vertikal dan kementerian 47 laporan, kepolisian 33 laporan,BUMN dan BUMD 23 laporan, badan pertanahah 19 laporan.

Ia menambahkan dari 390 laporan tersebut sebanyak 285 laporan atau 82 persen sudah diselesaikan oleh Ombudsman.

Peningkatan Partisipasi

Pada sisi lain Ombudsman Republik Indonesia menilai partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelayanan publik di Tanah Air mengalami peningkatan ditandai dengan terus bertambahnya laporan pengaduan setiap tahun.

Pada 2014 jumlah pengaduan ke Ombudsman sebanyak 6.679, 2015 sebanyak 6.950 aduandan 2016 mencapai 10.000 aduan. Artinya kepedulian masyarakat untuk melapor terus tumbuh, kata komisioner Ombudsman Republik Indonesia Ninik Rahayu.

Menurutnya selama ini keberanian masyarakat dalam melapor praktik penyimpangan yang terjadi dalam pelayanan publik masih minim karena butuh modal besar untuk melakukannya.

"Biasanya kan masyarakat kalau menemukan penyimpangan hanya bisa menggerutu, namun sekarang sudah berani melaporkan dan ini jauh lebih konstruktif bagi penyelenggaraan pemerintah," kata dia.

Ia menyampaikan instansi pemerintah yang paling banyak dilaporkan selama ini adalah pemerintah daerah diikuti kepolisian dan instansi pemerintah serta kementerian.

Untuk substansi laporan dalam tiga tahun terakhir didominasi oleh bidang pendidikan, kepegawaian, perhubungan, kesehatan dan administrasi kependudukan, ujar dia.

Ia memaparkan dugaan maladministrasi yang banyak ditemukan berupa penyimpangan prosedur, penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, hingga permintaan imbalan berupa uang barang dan jasa.

Menurut Ninik rendahanya standar pelayanan akan mengakibatkan beragam maladministrasi, mulai dari ketidakjelasan prosedur, ketidapastian jangka waktu, pungutan liar hingga korupsi.

Jika hal itu terus terjadi akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi, terhambatnya target pembangunan yang berujung pada menurunnya tingkat kepercayaan publik pada pemerintah, kata dia.

Ia menambahkan pelayanan publik yang bagus akan mencegah terjadinya praktik korupsi sebab korupsi itu biasanya terjadi di hulu, sementara pelayanan publik di hilir.