Menelusuri Aksara Minangkabau di Museum Adityawarman

id aksaraminangkabau

Menelusuri Aksara Minangkabau di Museum Adityawarman

Aksara Minangkabau yang terdapat di Museum Adityawarman, Padang. Aksara itu perlu pembuktian secara ilmiah agar diakui. (Istimewa)

Beberapa pelajar SMA yang masih menggunakan seragam memasuki ruangan di atas "Rumah Gadang" Museum Adityawarman Padang, Sumatera Barat. Mereka berbisik-bisik sambil melihat-lihat barang-barang tua yang berkaitan dengan pers masa lalu.

Sebanyak 83 koleksi pers zaman dulu memang sedang dipajang selama Pameran Sejarah Pers Minangkabau di museum itu hingga Juni 2018. Koleksi itu terdiri atas 59 surat kabar dari masa ke masa, 12 benda penunjang pers, seperti kamera, mesin ketik, telepon, radio alat perekam suara, serta foto-foto tokoh pers asal Sumbar, seperti Adinegoro dan Rohana Kudus.

Usai menikmati melintasi masa pada potongan sejarah masa lalu itu, mereka turun ke lantai bawah, melihat-lihat koleksi lain museum dalam ruang arsitektur tradisional Minangkabau. Mereka terhenti pada sebuah benda berbingkai yang bertuliskan aksara Minangkabau.

Aksara itu terlihat aneh, agak patah-patah, berbeda dengan tulisan Arab Melayu. Sebagian ada yang memiliki titik di atas dan di bawah. Sebentar saja melihat-lihat, mereka lalu pergi, seakan itu hanya barang biasa. Barang yang tidak punya arti terlalu penting.

Padahal, aksara Minangkabau merupakan salah satu persoalan yang tidak selesai diperdebatkan hingga saat ini. Sebagian mengakui keberadaannya, tetapi sebagian besar masih meragukan.

Budaya Minangkabau dinilai memiliki tradisi lisan yang kuat, tetapi tidak dengan tradisi tulis dengan aksara sendiri. Tradisi tulis masyarakat Minang disebut-sebut berkembang setelah adanya aksara Jawi.

Ribuan naskah yang masih ada hingga saat ini menjadi bukti kekuatan tradisi tulis menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Jawi itu. Tetapi dengan aksara Minangkabau, sejumlah ahli mengatakan belum ada bukti konkret yang bisa dijadikan patokan.

Ahli filologi dari Universitas Andalas (Unand) Dr Pramono mengatakan yang paling berhak untuk menentukan sebuah kebudayaan punya aksara atau tidak adalah ahli paliografi (ilmu tentang tulisan kuno). Namun sampai saat ini belum ada yang menyatakan keberadaan aksara Minangkabau tersebut.

Menurut dia jika ingin membuktikan keberadaan aksara itu, perlu dilakukan penelusuran lebih jauh untuk menemukan warisan budaya Minang yang terdokumentasi, seperti yang ada di gua, prasasti, monumen tertentu atau manuskrip.

Penelusuran itu perlu melibatkan ahli paliografi, filolog, dan arkeolog.

Hampir senada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Dr Hasanuddin yang mengatakan Budaya Minangkabau memiliki tradisi lisan yang dominan. Nyaris semua komunikasi dan proses literasi di Minang disampaikan dengan media lisan.

Akan tetapi, ia tidak menampik, ada asumsi atau indikasi bahwa Minangkabau juga memiliki aksara yang terdapat pada artefak di menhir serta motif dan simbol-simbol di Rumah Gadang, seperti yang ditemukan di Abai, Solok Selatan.

Namun itu juga masih perlu penelitian lebih lanjut, termasuk penyebab aksara itu tiba-tiba menghilang.

Persoalan aksara Minangkabau itu sebenarnya bukan perkara baru. Puluhan tahun lalu juga sudah dibahas. Bahkan, ada yang pernah menunjukkan bentuk aksara itu yang mirip dengan aksara di Museum Adityawarman.

H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie (Limbago: Majalah Adat dan Kebudayaan Minangkabau No. 5 Tahun 1987) yang dikutip dalam https://sasdaminangkabau.wordpress.com/2010/05/12/aksara minangkabau, menyebutkan ada dua macam aksara asli Minangkabau.

Pada pembahasan Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau dalam sidang seminar yang diadakan di Batusangkar 1970, seorang peserta seminar tampil memperlihatkan aksara Minang yang ia temukan di Pariangan. Kebetulan ia adalah bekas camat di Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.

Aksara Minang itu ditemukan dalam Kitab Tambo Alam milik Datuk Suri Dirajo dan Datuk Bandaro Kayo di Pariangan, Padang Panjang.

Tambo Alam itu ditulis dalam aksara Minang tersebut. Bukan seperti kitab-kitab tambo yang biasanya ditulis dalam tulisan Arab Melayu. Di dalam kitab tambo itu antara lain tertulis Undang-Undang Adat.

Aksara Minang itu berjumlah 15 buah yang terdiri dari: a ba sa ta ga da ma ka na wa ha pa la ra nga (bandingkan dengan Surat Ulu di Palembang yang menurut Drs. Zuber Usman terdiri dari 16-17 huruf).

Jika huruf-huruf Minang itu diberi titik di atasnya, maka di baca: i bi si ti gi di mi ki ni wi hi pi li ri ngi. Dan kalau diberi titik di bawahnya bacaannya berubah menjadi u bu su tu gu du mu ku nu wu hu pu lu ru ngu.

Selanjutnya kalau diberi bercagak (bertanda v) di atasnya dibaca: e be se te ge de me ke ne we he pe le re nge. Kalau tanda "v" tersebut dipindahkan ke bawah harus dibaca: o bo so to go do mo ko no wo ho po lo ro ngo.

Tapi kalau diberi titik di samping kanan, maka ia menjadi huruf mati: b s t g d m k n w h p l r ng.

Jika diperhatikan, aksara Minang ini mirip dengan huruf Lontara, yaitu huruf asli yang ada di Makasar (Ujung Pandang). Cuma jumlahnya yang berbeda. Aksara Minang berjumlah 15, sedangkan huruf Lontara berjumlah 23.

Kemudian Aksara Minang "Ruweh Buku" yang ditemukan di nagari Silek Aia (Sulit Air).

Menurut Ketua Lembaga Studi Minangkabau di Padang Drs Denito Darwas Dt. Rajo Malano, Kitab Tambo Ruweh Buku yang ditemukan di nagari Sulit Air juga ditulis dalam aksara Minang. Berisi ajaran adat Minang nukilan Datuk Suri Dirajo di Pariangan Padang Panjang juga.

Kemudian entah pada zaman apa dan tahun berapa, kitab Ruweh Buku itu dibawa orang ke Sulit Air dan dimiliki oleh Datuk Tumanggung secara turun temurun.

Terakhir dimiliki oleh Syamsuddin Taimgelar Pakih Sutan yang berusia 75 tahun pada tahun 1980. Ia menerima kitab itu dari mamaknya Rasad gelar Datuk Tumanggung pada tahun 1921. Sedangkan Rasad Dt Tumanggung menerimanya pula dari Datuk Tumanggung V. Begitu seterusnya jawek bajawek dulu sampai sekarang.

Tambo Ruweh Buku sudah ada sejak awal disusunnya peraturan atau ketentuan-ketentuan adat Minangkabau yang disebutkan sebagai kerajaan "BUEK".

Beda dengan aksara Minangkabau yang ditemukan di Pariangan, Padang Panjang, maka aksara Minang "Ruweh Buku" di Sulit Air, kata demi kata dideretkan ke bawah kalau hendak membentuk kalimat. Mirip dengan huruf Katakana (Jepang), tapi jika hendak merangkaikan huruf jadi satu kata tetap dideretkan ke kanan.

Jumlah hurufnya 21 buah lengkap dengan tanda baca. Beda dengan aksara Minang di Pariangan, maka huruf Ruweh Buku ini memiliki huruf hidup a i u o dan selebihnya huruf mati semua.

Kalau kita ingin menuliskan ta bukanlah gabungan huruf t dengan huruf a, melainkan ambillah huruf t kemudian diberi garis di atasnya. Kalau menulis ti taruhlah garis di bawah huruf t tersebut. Menuliskan tu maka sebelum huruf t bubuhkanlah garis miring terlebih dahulu. Menuliskan te pakailah garis miring setelah huruf t, sedangkan kalau ingin membuat to pakailah titik di atas huruf t. Begitu seterusnya.

Aksara Minang Ruweh Buku tersebut juga dilengkapi dengan tanda baca, seperti tanda tanya, tanda seru, titik, koma, bagi, tambah, kali, kurang.

Menurut Syamsuddin Taim gelar Pakih Sutan, Tambo Ruweh Buku ditulis di atas lembaran kulit kayu sepanjang 55 cm atau satu hasta lebih sedikit. Ada 48 halaman dan ditulis menggunakan getah kayu yang berwarna hitam.

Menariknya, pada tahun 2000-an pada Sekolah Dasar di berbagai daerah di Sumbar, aksara Minangkabau itu seolah menjadi mata pelajaran wajib dalam muatan lokal.

Sebagian sekolah mengajarkan aksara itu sekali seminggu, seperti SD 01 Tujuh Koto Talago, Kabupaten Limapuluh Kota, pada tahun 2005. Salah seorang murid SD kelas VI pada waktu itu, Novalina (25) mengatakan ia mempelajari aksara Minangkabau itu dari seorang guru yang diundang ke sekolah sekali seminggu.

Guru yang ia ingat dengan nama "El" itu, disebutkan sangat fasih menggunakan aksara itu, baik untuk menulis maupun saat membaca.

Hal yang sama dituturkan oleh Pandi (25) yang pernah bersekolah di SD 11 Lubuk Buayo Padang pada 2005. Ia menyebutkan dalam pelajaran muatan lokal, ia mempelajari akrasa Minangkabau itu dan hampir bisa menghafal seluruh huruf.

Meski demikian, keberadaan aksara Minangkabau itu tentu tetap harus dibuktikan kebenarannya secara akademik hingga bisa diterima bahkan mungkin kembali dilestarikan oleh generasi saat ini.(*)