Setnov Didakwa Terima Lebih 7,3 Juta Dolar dan Jam Richard Mille dari Proyek KTP-E

id Setya Novanto

Setnov Didakwa Terima Lebih 7,3 Juta Dolar dan Jam Richard Mille dari Proyek KTP-E

Setya Novanto. (ANTARA /M Agung Rajasa)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Mantan Ketua DPR Setya Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-Elektronik.

"Sehingga uang yang diterima terdakwa Setya Novanto baik melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun Made Oka Masagung berjumlah 7,3 juta dolar AS," kata jaksa penuntut umum (JPU) Eva Yustisiana KPK di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Uang itu bersumber dari Johannes Marliem yang merupakan Direktur Utama PT Biomorf Lone Indonesia selaku penyedia Automated Fingerprint Identification System (AFIS) merk L1 dan Anang Sugiana Sudiharsa sebagai Direktur Utama PT Quadra Solutions sebagai anggota konsorsium PNRI sebagai pemenang pengadaan KTP-E.

"Johannes Marliem dan Anang Sugiana mengirimkan uang kepada terdakwa dengan lebih dulu menyamarkan menggunakan beberapa nomor rekening perusahaan dan tempat penukaran uang baik di dalam maupun luar negeri dengan rincian," tambah jaksa Eva.

Rinciannya adalah:

1. Diterima Setnov melalui Made Oka Masagung (rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura) seluruhnya 3,8 juta dolar AS melalui rekening OCBC Center branch atas nama OEM Investmen Pte Ltd sejumlah 1,8 juta dolar AS dan melalui rekening Delta Energy Pte Ltd di bank DBS Singapura sejumlah 2 juta dolar AS.

2. Diterima Setnov melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakannya) tanggal 19 Januari - Februari 2012 seluruhnya berjumlah 3,5 juta dolar AS.

"Setelah menerima uang itu sekitar November 2012, terdakwa juga menerima pemberian barang berupa 1 jam tangan Richard Mille seri RM 011 seharga 135 ribu dolar AS yang dibeli Andi Agustinus bersama Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena terdakwa telah membantu memperlancar proses penganggaran," tambah jaksa Eva.

Pemberian "fee" tersebut diawali pada Juni 2010, yaitu ketika pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang juga punya kedekatan dengan Setnov melakukan pertemuan di caf Pandor dengan Johannes Marliem, Vidi Gunawan (adik Andi Agustinus), Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dan Mudji Rahmat Kurniawa.

Dalam pertemuan tersebut Andi menyampaikan informasi dari Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman bahwa anggaran KTP-E 2011-2012 baru ada Rp1 triliun padahal kebutuhannya sebesar Rp2,6 triliun. Selanjutnya Irman meminta bantuan kepada Andi Agustinus untuk menyampaikan hal itu ke Setnov.

"Pada saat Andi Agustinus menyampaikan hal tersebut kepada terdakwa, Andi Agustinus juga menyampaikan agar para calon peserta proyke KTP-E bersedia terlebih dulu memberikan fee sebesar 5 persen dari yang diminta DPR, terdakwa menyetujuinya bahkan kalau tidak dipenuhi maka terdakwa tidak akan mau membantu mengurus anggarannya selain itu terdakwa juga mengajak Johannes Marliem untuk bertemu dengan Diah Anggraeni, Chairuman Harahap (Ketua Komisi II dari fraksi Partai Golkar) dan koordinator Anggaran DPR RI," tambah jaksa Eva.

Pada sekitar Oktober 2010, Andi Agustinus bersama-sama Johannes Marliem, bertemu dengan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini, Irman, Sugiharto, ketua tim teknis KTP-E Husni Fahmi, Chairuman Harahap dan Johannes Marliem di Restaurant Peacock Hotel Sultan.

Dalam pertemuan itu Diah meminta Chairuman selaku ketua Komisi II DPR untuk segera menyetujui anggaran pekerjaan penerapan KTP-E secara "multiyears" dengan "grand design" sejumlah Rp5,952 triliun.

"Selama proses pembahasan anggaran, terdakwa memberikan informasi perkembangan tentang pembahasan anggaran kepada Andi Agustinus," tambah jaksa Ahmad Burhanuddin.

Selain mengupayakan untuk memenangkan konsorsium PNRI, Andi Agustinus juga bertemu dengan Paulus Tannos, Anang Sugiana Sudihardjo, Johannes Marliem, dan Isnu Edhi Widjaya. Dalam pertemuan itu disepakati "fee" yang akan diberikan kepada Setnov lebih kurang sebesar 5 persen dan disepakati skema pembagian beban "fee" kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri yang rinciannya adalah:

a. PT Sandipala Artha Putra bertanggungjawab memberikan fee kepada Gamawan Fauzi melalui Asmin Aulia sebesar 5 persen dari nilai pekerjaan yang diperoleh.

b. PT Quadra Solution bertanggungjawab memberikan fee kepada Setya Novanto sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.

c. Perum PNRI bertanggungjawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.

d. Keuntungan bersih masing-masing anggota konsorsium setelah dipotong pemberian fee tersebut adalah sebesar 10 persen.

Skema pemberian fee tersebut dilaporkan kepada Setnov oleh Irman, Andi, Anang Sudihardjo dan Paulus Tannos. Atas laporan itu, Setya Novanto menyetujuinya.

Pada 21 Juni 2011, Mendagri Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5,84 triliun.

Namun pada September-Oktober 2011 di rumah Setnov, Paulu melaporkan konsorsium PNRI tidak mendapat uang muka pekerjaan sebagai modal kerja. Paulus lalu minta petujuk dan Setnov memperkenalkan orangnya yaitu Made Oka Masagung yang punya relasi ke banyak bank.

"Terdakwa juga menyampaikan adanya 'commitment fee' yang merupakan jatah untuk terdakwa dan anggota DPR RI sebesar 5 persen dari nilai proyek," ungkap jaksa.

Setnov lalu meminta Andi dan Paulus kembali bertemu di rumahnya dan memperkenalkan Made Oka Masagung kepada Paulus Tannos dengan tujuan untuk membantu masalah finansial proyek KTP-E dan menyampaikan "fee" jatah Setnvo dan anggota DPR disampaikan melalui Made Oka Masagung.

Sekita September 2011, Paulus Tannos dan Anang Sugiana bertemu Made Oka Masagung di cafe di Oakwood Apartement Jakarta. Dalam pertemuan itu Paulus Tannos menyampaikan permintaan bantuan kepada Made Oka Masagung dan disanggupi dengan cara memperkenalkan Paulus dan Anang ke beberapa bank.

Pada Desember 2011, Chairuman menelepon Irman untuk menagih fee 5 persen yang sudah disepakati, selanjutnya Setnov dan Chairuman bertemu dengan Andi Agustinus dan Paulus Tanno di gedung Equity Tower dimana Setnov dan Chairuman menagih komitmen tersebut.

Sebagai tindak lanjut, Andi Agustinus, Paulus Tannos, Anang Sugiana bertemu di apartemen Pacific Place dan menyepakai "fee" sebear 3,5 juta dolar AS untuk Setnov akan direalisasikan oleh Anang Sugiana dan dananya diambilkan dari bagian pembayaran PT Quadra Solution kepada Johannes Marliem melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia.

"Dengan cara mentransfer ke rekening Made Oka Masagung di Singapura dan yang akan menyerahkan kepada terdakwa adalah Made Oka Masagung. Untuk itu Johanes Marliem akan mengirim beberapa invoice kepada Anang Sugiana sebagai dasar untuk pengiriman uang sehingga seolah-olah pengiriman uang tersebut merupakan pembayaran PT Quadra Solution kepada Biomorf Mauritius atau PT Biomorf Lone Indonesia," ungkap jaksa Ahmad Burhanuddin.

Selain itu Anang juga bertemu dengan Johannes dan Sugiharto untuk membahas jumlah "fee" yang akan diberikan kepada Setnov yang rencananya akan diberikan sejumlah Rp100 miliar namun jika tidak memungkinkan hanya akan diberikan sejumlah Rp70 miliar.

Jumlah itu merupakan bagian dari total kerugian negara senilai Rp2,314 triliun dari proyek senilai Rp5,9 triliun.

"Terdakwa Setya Novanto bersama dengan Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Anang Sugiana Sudiharjo, Isnu Edhi Wijaya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Made Oka Masagung, Diang Angraeni dan Drajat Wisnu Setyawan melakukan intervensi dalam proses penanggaran dan pengadaan barang/ jasa paket pekerjaan penerapan KTP berbasis nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (KTP Elektronik) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun," kata jaksa.

Setnov didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (*)