Menunggu Pahlawan Nasional Baru dari Ranah Minang

id haripahlawan,pahlawanranahminang,pahlawansumbar

Menunggu Pahlawan Nasional Baru dari Ranah Minang

Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit meresmikan Monumen Tamansari 15 Pahlawan Nasional asal Minangkabau di halaman Museum Adityawarman, Kota Padang, Jumat (10/11). Pembangunan monumen itu sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa pendahulu bangsa tersebut. (Istimewa)

Empat tokoh Indonesia mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115 TK Tahun 2017 tertanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Empat orang itu masing-masing almarhum TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati dari Provinsi Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah dari Provinsi Kepulauan Riau, dan almarhum Lafran Pane dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penetapan empat pahlawan itu melewati sejumlah proses yang cukup panjang, mulai pengusulan dari daerah serta harus memenuhi syarat sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Syarat itu di antaranya tertuang pada pasal 26, yaitu pertama, pernah memimpin dan melaksanakan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kedua, tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan, ketiga, melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebih tugas yang diembannya.

Keempat, pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara, kelima, pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat martabat bangsa.

Keenam, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi, dan terakhir, melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Tidak ada perdebatan terkait dengan penetapan empat tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional karena semua pihak menyetujui bahwa mereka memiliki peran masing-masing untuk Indonesia.

Meski demikian, layaknya gading tidak ada yang tak retak, penetapan itu tentu menyisakan kekecewaan bagi daerah yang mengusulkan calon pahlawan nasional, namun belum mendapatkan anugerah tersebut.

Sumatera Barat mungkin salah satu daerah yang merasakan itu karena sejak Muhammad Natsir dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 2008, tidak ada lagi usulan yang lolos penilaian Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Kepala Dinas Sosial Sumbar Abdul Gaffar mengatakan setelah anugerah untuk Muhammad Natsir, Tim Peneliti, Pengkaji Gelar kabupaten/kota, Tim Peneliti, Pengkaji Gelar provinsi, dan Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) sudah mengkaji sejumlah nama dari daerah tersebut untuk diusulkan memperoleh gelar pahlawan nasional.

Di antara nama-nama itu dari Kabupaten Agam, yaitu Mr Assaat, H. Abdul Manan, Muhammad Saleh Dt. Rajo Panghulu dan Siti Manggopoh. Sementara dari Pariaman diusulkan H. Bagindo Dahlan Abdullah.

Assaat, Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949-1950 yang berasal dari Banuhampu diusulkan bersamaan dengan Buya Hamka. Nama terakhir lolos dan dinobatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai pahlawan nasional pada 2013, sedangkan Mr Assaat tidak berhasil dan hanya mendapat penghargaan Bintang Maha Putra.

Abdul Manan adalah masyarakat Kamang, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam yang menjadi salah seorang tokoh pada Perang Kamang bersama pemimpin lainnya, Muhammad Saleh Dt. Rajo Pangulu.

Perang Kamang adalah perang terbuka yang terjadi pada 15 Juni 1908. Perang itu salah satu puncak dari kemelut suasana antipenjajahan rakyat Sumatera Barat dalam menentang penjajahan Belanda.

Berdasarkan Nota Westenenk, ditulis di Bukittinggi tanggal 25 juni 1908 No. 1.1/28 disebutkan pihak Belanda meninggal sembilan orang dan terluka 13 orang, sedangkan dari pihak masyarakat meninggal 90 orang. Rajo Pangulu gugur dalam pertempuran, sedangkan Abdul Manan gugur ditembak di halaman rumahnya sewaktu diadakan penyisiran oleh tentara Belanda.

Sementara Siti Manggopoh adalah perempuan yang dijuluki "Singa Betina" dari Manggopoh karena tanpa kenal rasa takut melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting) 1908. Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.

Siti Manggopoh yang lahir di Manggopoh, Agam, Hindia Belanda pada Mei 1880 itu memimpin perang pada 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau tersebut sehingga terpaksa meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh.

Dengan siasat jitu, Siti Manggopoh dan pasukannya berhasil menewaskan 53 serdadu Belanda.

Siti bersama suaminya ditangkap dan dipenjara setelah buron selama 17 hari. Namun, lantaran mempunyai bayi, ia terbebas dari hukuman pembuangan, sedangkan suaminya, Rasyid Bagindo Magek, dihukum dibuang ke Manado dan meninggal di daerah tersebut.

Siti Manggopoh meninggal dunia pada usia 85 tahun atau tepatnya pada 20 Agustus 1965 di Kampung Gasan Gadang, Kabupaten Agam.

Sedangkan Baginda Dahlan Abdullah merupakan salah satu tokoh Indonesia yang turut serta merintis kemerdekaan Indonesia dengan komunikasi dan diplomasinya.

Dalam simposium yang digelar di Gedung Caraka Loka, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (15/3), terungkap bahwa Baginda Dahlan pada usia 21 tahun sudah lantang bicara di luar negeri dan menyatakan bahwa dirinya adalah orang Indonesia.

Selain nama-nama itu, masih cukup banyak tokoh Minangkabau yang dinilai layak untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional, seperti Huriah Adam yang berkonsentrasi pada seni dan budaya.

Abdul Gaffar menambahkan tokoh asal Minangkabau yang memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional akan terus diupayakan agar mendapatkan anugerah itu.

Namun, pengusulannya memang harus melewati proses dan syarat sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Syarat tersebut dibagi atas syarat umum dan khusus. Selain itu, dibutuhkan pula persyaratan administrasi, seperti rekomendasi dari gubernur dan surat pengantar dari Dinas Sosial setempat.

Proses kemudian, melalui hasil sidang Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) tingkat provinsi sebagaimana format laporan Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Dibutuhkan pula seminar usulan calon pahlawan nasional dan makalah yang dibuat berdasarkan karya akademik dan hasil penelitian, dan dilampirkan daftar pustaka.

Seminar itu juga harus dihadiri perwakilan Kementerian Sosial RI, pakar/sejarawan level nasional, pakar/sejarawan level daerah/provinsi. Selain itu, perlu dokumen-dokumen pendukung calon pahlawan nasional.

Sementara itu, Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menyatakan optimistis bahwa ke depan masih akan ada lagi pahlawan nasional dari Ranah Minang karena yang layak untuk mendapat gelar itu memang cukup banyak.

Kendalanya, menurut dia, anggaran untuk melengkapi syarat dan kelengkapan administrasi yang dibutuhkan.

Hingga November 2017, dari 173 pahlawan nasional yang ada di Indonesia, 15 di antaranya berasal dari Minangkabau.

Mereka masing-masing Tuanku Imam Bonjol, Jahja Datoek Kajo, Abdoel Moeis, Tan Malaka, Mohammad Amir, Bahder Djohan, Ilyas Ya'kub, Mohammad Yamin, Adenan Kapau Gani, Hazairin, Hamka, Soetan Sjahrir, Rasuna Said, Bagindo Aziz Chan, dan Abdoel Halim. (*)