Menumbuhkan Budaya Sadar Bencana Guna Meminimalkan Risiko Lewat Ilmu Pengetahuan

id sadar bencana

Menumbuhkan Budaya Sadar Bencana Guna Meminimalkan Risiko Lewat Ilmu Pengetahuan

Ilustrasi Siaga Bencana (Antara)

Padang, (Antara Sumbar) - Delapan tahun silam, tepat 30 September 2009 merupakan hari yang tak akan terlupakan bagi warga Padang, Sumatera Barat, saat diguncang gempa berkekuatan 7,6 yang membuat kota itu nyaris porak poranda.

Tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi mereka yang kehilangan keluarga akibat tertimpa reruntuhan, gempa juga menyisakan trauma bagi warga karena dahsyatnya guncangan yang terjadi.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Satkorlak Penanggulangan Bencana sebanyak 1.117 orang tewas serta 1.124 orang luka berat, 1.688 orang luka ringan dan 135.448 rumah rusak berat 65.380 rusak sedang dan 78.604 rusak ringan.

Sebagai daerah yang berlokasi berada di antara pertemuan dua lempeng tektonik besar, yaitu Eurasia dan Indo-Australia serta patahan (sesar) Semangko membuat Sumatera Barat menjadi salah satu daerah dengan intensitas gempa bumi cukup tinggi di Tanah Air.

Posisi geografis Ranah Minang yang dekat dengan pertemuan lempeng patahan Mentawai juga memicu segmen aktif yang berpotensi menimbulkan gempa bumi di daratan.

Sewindu berlalu, gempa dan tsunami masih berpotensi terjadi di Sumatera Barat. Dari data yang dihimpun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Padang Panjang dalam sebulan terakhir tiga gempa yang guncangannya cukup kuat dirasakan warga.

Pertama pada Selasa (5/9) gempa berkekuatan 4,2 pada Skala Richter mengguncang kota Padang, pukul 09.52 WIB berlokasi di 1,24 lintang selatan, 99,73 bujur timur tepatnya 82 kilometer barat daya Pariaman degan kedalaman 20 kilometer.

Kemudian pada Jumat (1/9) terjadi gempa berkekuatan 6,2 pada Skala Ricter (SR) pada pukul 00.06 WI berlokasi di 1.30 lintang selatan, 99,99 bujur timur, atau 80 kilometer timur laut Mentawai, 86 kilometer barat daya Pasaman Barat, 87 kilometer barat daya Pariaman dan 113 kilometer barat daya Padang dengan kedalaman 10 kilometer.

Lalu pada 13 Agustus 2017 gempa berkekuatan 6,6 pada Skala Richter menguncang Kota Padang, pada pukul 10.08 WIBberlokasi di 3.75 lintang selatan, 101.56 bujur timur atau 71 kilometer barat daya Bengkulu Utara dengan kedalaman 10 kilometer.

Bahkan menurut ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawijadja yang sudah 20 tahun meneliti gempa di Mentawai mengatakan ancaman gempa di bawah Pulau Siberut atau gempa megathrust sudah di depan mata.

Melalui pemaparannya di Auditorium Gubernur Sumbar pada 2010 ia mengingatkan warga Padang, Mentawai, dan pesisir barat Sumatera Barat bersiap menghadapi gempa Megathrust di Pulau Siberut Mentawai dengan kekuatan yang mencapai 8,9 skala Richter dan dapat menimbukan tsunami.

Ia menyarankan pemerintah pusat dan daerah segera membuat shelter dan jalan evakuasi untuk mengantisipasi ancaman bencana tsunami di Sumatera Barat.

Sejalan dengan itu Direktur Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Dr Haryadi Permana saat ekspedisi Megatera Mentawai pada 2015 mengatakan dengan pengetahuan yang lebih baik mengenai sifat-sifat tektonik, pihaknya dapat mempersiapkan diri lebih baik untuk mengurangi risiko gempa bumi besar.

"Kami tidak ingin bencana yang sangat dahsyat seperti di Aceh terjadi lagi di Padang atau di kota-kota lain yang berisiko tinggi, kata dia.

Semua informasi dan data yang diperoleh dari ekspedisi ini, termasuk peta dasar laut beresolusi tinggi, akan dibagikan secara publik dengan ilmuwan lain dan organisasi penelitian, kata dia.

Saat itu Kapal riset milik Schmidt Ocean Institute dari Amerika Serikat dengan merek dinding Falkor melakukan penelitian kelautan di daerah risiko seismik tinggi di bagian barat Sumatera tepatnya di perairan laut Mentawai, Sumatera Barat.

"Tim peneliti berhasil melakukan pemetaan dengan resolusi tinggi dasar samudra dimana lempeng tektonik bertemu satu-sama lainnya ," kata Kepala Ekspedisi Prof Satish Singh.

Ia menyampaikan hal itu saat kapal berlabuh di Pelabuhan Teluk Bayur Padang setelah 32 hari berlayar melakukan ekspedisi penelitian yang disebut Mentawai Gap-Tsunami Earthquake Risk Assesmen (Mega-Tera).

Ekspedisi tersebut diikuti 10 peneliti dari Earth Observatory Singpore Nangyang Technological University (EOS-NTU), Institut de Physque du Globe de Paris (IPGP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Ia menjelaskan selama melakukan penelitian pihaknya memepelajari risiko terjadinya tsunami akibat gempa di kawasan Pantai Barat Sumatera dan mencari hubungan antara gempa bumi dan timbulnya tsunami.

Ada dua lokasi yang diteliti yaitu Cekungan Wharton dimana pernah terjadi dua gempa besar pada 2012 dan kawasan sebelah barat Pulau Siberut yang dikenal dengan Mentawai Gap, ujar dia yang merupakan peneliti geofisika kelautan dai IPGP.

Ia memaparkan Mentawai Gap adalah daerah geologi aktif zona subduksi Sumatera-Andaman yang belum pernah mengalami gempa besar dalam 200 tahun terakhir.

Tim peneliti berhasil melakukan pengambilan data seismik resolusi tinggi dan data paras dasar laut di dua lokasi itu, lanjut dia.

Satihs mengatakan pihaknya banyak menemukan patahan aktif di Cekungan Wharton dan di kawasan Mentawai Gap terdapat patahan aktif di dekat palung.

Hasil temuan dari ekspedisi ini akan memberi pemahaman yang lebih baik kepada peneliti untuk dapat mengetahui penyebab alamiah tsunami sehingga dapat menentukan langkah yang tepat dalam melakukan mitigasi bencana," ujar dia.

Akan tetapi ia menegaskan hingga saat ini tidak ada yang dapat memastikan kapan tsunami akan terjadi karena tidak dapat diketahui.

Sementara peneliti LIPI Adam Budi Nugroho menjelaskan dalam melakukan penelitian tim menggunakan menggunakan alat yang disebut Bathymetry dan Seismic reflection

Bathymetry menggunakan gelombang suara untuk memotret topografi dasar laut dan Seismic reflection merupakan air gun ditembakan ke dasar laut untuk melihat struktur sedimen laut.

Sejalan dengan itu pakar gempa dari Universitas Andalas Dr Badrul Mustafa mengatakan dalam beberapa bulan terakhir terjadi peningkatan aktivitas gesekan lempeng di segmen megathrust Siberut memicu sejumlah gempa yang getarannya dirasakan cukup kuat.

Ia menjelaskan bahwa peningkatan aktivitas ini ada dua kemungkinan. Pertama segmen tersebut melepas energinya secara perlahan-lahan dan kedua tetap diperkirakan akan ada gempa cukup kuat tapi tidak sebesar yang diperkirakan para ahli.

Menurutnya saat ini pada segmen Megathrust di Siberut masih menyimpan energi yang periode pelepasan sudah memasuki siklus untuk melepaskannya.

Akan tetapi ia menilai kesadaran warga Padang terhadap gempa sudah lebih baik dari sebelumnya.

Dulu gempa dengan kekuatan II MMI saja warga sudah panik dan berhamburan ke luar rumah serta memenuhi jalan-jalan untuk melakukan evakuasi, kata dia.

Namun sekarang warga terlihat tenang, bahkan di Pantai Padang setelah gempa terjadi warga tetap beraktivitas seperi biasa.

Menurut dia kesadaran warga terhadap gempa sudah mulai baik dan sosialisasi yang dilakukan selama ini cukup efektif sehingga saat gempa terjadi tidak perlu panik yang akhirnya malah memicu kekacauan di jalan raya.

Artinya, menurut dia, sosialisasi apa yang harus dilakukan saat gempa sudah mulai efektif, namun harus terus dilakukan.

Kemudian dari sisi infrastruktur seperti kekuatan bangunan jika dibangun setelah 2009 diperkirakan lebih tahan gempa, akan tetapi pemangku kepentingan terkait tetap harus memperhatikan hal ini.

Jangan sampai ada bangunan yang strukturnya tidak kuat, kata dia.

Kemudian untuk evakuasi vertikal dan horizontal juga perlu lebih dimaksimalkan agar bisa menampung warga.

Kurikulum Kebencanaan

Pada sisi lain Badrul menilai materi kebencanaan mendesak dimasukan ke dalam kurikulum sekolah, apalagi di Sumatera Barat daerahnya rawan bencana.

"Yang perlu dimasukan itu tentang potensi bencana alam yang ada di Sumbar agar siswa bisa memahaminya dengan baik," katanya.

Menurutnya setelah siswa paham potensi bencana juga perlu disampaikan intensitasnya sehingga bisa melakukan antisipasi atau mitigasi.

Jadi langkah mitigasi juga dilakukan di sekolah, mulai dari sebelum bencana terjadi, saat bencana terjadi dan setelah bencana.

Ia memberi contoh sebelum bencana terjadi apa yang harus dipersiapkan siswa di sekolah dan seperti apa respons yang harus dilakukan saat bencana terjadi.

Ketika gempa terjadi, katanya, maka siswa bisa merespons dengan baik sehingga tidak mengalami ketakutan.

Pada sisi lain ia mengatakan ketika materi kebencanaan sudah masuk kurikulum bisa meminimalkan informasi yang menyesatkan soal bencana.

Dulu ada isu tanggal sekian jam sekian akan datang gempa besar, padahal gempa tidak bisa diperkirakan waktunya, tentu siswa akan tahu kabar ini tidak benar.

Kemudian ketika siswa memahami bencana dengan baik setelah dewasa ilmu yang didapatkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ia menekankan semakin banyak masyarakat yang memahami bencana, bagaimana cara bereaksi dan antisipasi maka kerugian bisa diminimalkan.

Di negara-negara maju ketika terjadi bencana gempa kerugian yang ditimbulkan kecil karena warganya sudah paham bencana, katanya.

Sementara di daerah itu saat terjadi gempa yang tidak terlalu besar, namun kerugian malah besar karena banyak yang belum paham soal bencana.

Tidak hanya itu ia juga berpendapat di Sumatera Barat perlu hadir program studi kebencanaan mengingat daerah itu rawan gempa.

Kehadiran program studi kebencanaan dibutuhkan, kata dia, untuk melakukan kajian dan analisis terhadap potensi gempa yang ada.

Menurutnya sebelumnya pihaknya telah mengusulkan izin pembukaan program studi kebencanaan kepada Kementerian Riset dan Dikti namun hingga saat ini belum ada lampu hijau.

Padahal daerah itu sangat butuh banyak penelitian seputar gempa di Sumbar.

Ia mengatakan di Indonesia memang sudah ada program studi kebencanaan, seperti di ITB, namun tentu mereka sibuk bekerja sama dengan pihak luar melakukan sejumlah penelitian.

Sementara untuk Sumbar sendiri belum tergarap dan butuh banyak kajian, katanya.

Ia menyampaikan peluang pembukaan program studi kebencanaan bisa diambil oleh Unand dan Universitas Negeri Padang.

Tanggung Jawab Bersama

Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Sumatera Barat menilai penanggulangan bencana bukan hanya tugas pemerintah melainkan butuh sinergi semua pihak, baik swasta maupun masyarakat.

Butuh kolaborasi dan keterpaduan dalam upaya pengurangan risiko bencana, tidak bisa dibebankan pada pemerintah saja, kata Ketua FPRB Sumbar Khalid Syaifullah.

Menurutnya urusan pengurangan risiko bencana merupakan tanggung jawab semua pihak dan jangan ada yang mengklaim paling berjasa atau paling berperan karena hal ini merupakan kerja lintas sektor.

"Ketika bencana terjadi ada yang mengurus konsumsi, kesehatan, infrastruktur hingga perbaikan jalan karena itu perlu sinergi semua pihak," katanya.

Ia mengatakan prinsip utama yang dipakai dalam penanggulangan bencana adalah cepat dan tepat untuk mengurangi risiko yang terjadi.

Khalid menceritakan pengalamannya saat bencana gempa di Padangpariaman tahun 2009 ketika tiba di lokasi langsung didatangi oleh warga setempat.

"Bapak mau membagikan terpal ke sini? Tidak usah karena sudah terlalu banyak, kami tidak butuh lagi, padahal saya datang bukan mengantar bantuan," katanya menceritakan.

Artinya, lanjut dia, kalau manajemennya tidak tepat, bencana belum selesai sudah muncul masalah baru, yaitu konflik di antara warga hingga pemberi bantuan.

Ia menilai hal itu terjadi karena memberikan bantuan yang tidak tepat akibat tidak ada koordinasi yang dipicu oleh tidak jalannya manajemen risiko.

Kemudian ia menyampaikan penanggulangan bencana merupakan hak asasi masyarakat dan dilakukan untuk menekan dampak dan kerugian yang ditimbulkan.

Tidak ada seorang pun ingin terjadi bencana, sebab itu perlu kesiapan menghadapinya jika ingin selamat karena bencana merupakan siklus yang selalu berulang dalam kehidupan manusia dan ruang ikhtiar untuk menyelamatkan diri akan selalu terbuka sejalan dengan tumbuhnya budaya sadar bencana. (*)