Ombudsman Dorong Perempuan Laporkan Penyimpangan Layanan Publik

id diskusi ombudsman Sumbar

Ombudsman Dorong Perempuan Laporkan Penyimpangan Layanan Publik

Diskusi publik Ombudsman Mendengar dengan tema Perempuan Berdaya Dalam Layanan Publik di Padang, Kamis (28/9). (Antara Sumbar/Ikhwan Wahyudi)

Padang, (Antara Sumbar) - Ombudsman Republik Indonesia mendorong kaum perempuan untuk berani melaporkan penyimpangan layanan publik kepada lembaga berwenang untuk mencegah terjadinya kesalahan administrasi oleh instansi publik.

"Berdasarkan catatan ombudsman selama ini pelapor penyimpangan layanan publik masih didominasi oleh laki-laki, padahal banyak aspek layanan publik yang berhubungan langsung dengan perempuan," kata Asistem Ombudsman RI Sumbar Adel Wahidi di Padang, Kamis.

Ia menyampaikan hal itu pada kegiatan Ombudsman Mendengar dengan tema Perempuan Berdaya Dalam Layanan Publik dihadiri perwakilan organisasi perempuan di Padang.

Adel menyebutkan sepanjang 2016 jumlah pelapor ke Ombudsman sebanyak 223 orang terdiri atas 167 laki-laki dan 56 perempuan dan pada 2017 hingga saat ini mencapai 173 orang terdiri atas 118 laki-laki dan 55 perempuan.

Menurutnya sejumlah sektor layanan publik terkait langsung dengan perempuan seperti layanan kesehatan seperti pemeriksaan kehamilan dan melahirkan, sektor pendidikan, pekerjaan hingga hukum.

Ia mengatakan perempuan rentan mendapatkan diskriminasi dalam pelayanan publik namun mereka enggan melapor karena takut dan memang tidak mengetahui.

"Salah satu contoh nyata misalnya instansi publik wajib menyediakan ruangan khusus menyusui, tetapi kalau tidak ada atau tidak layak biasanya jarang ada ibu yang mau melaporkan," katanya.

"Kemudian dalam pekerjaan wanita memiliki hak izin ketika haid hari pertama, serta bagi yang menyusui wajib disediakan ruangan khusus dan memberi waktu jeda," lanjutnya.

Sementara Ketua LSM Nurani Perempuan Yefri Hariani berpendapat banyak perempuan yang belum melek kebijakan dan pejabat publik pun belum memiliki perspektif perempuan dalam memberikan pelayanan.

"Saya menemukan aparat penegak hukum memperlakukan perempuan yang jadi korban kekerasan malah jadi korban lagi," katanya.

Ia memberi contoh ketika ada perempuan yang jadi korban kekerasan rumah tangga melapor ke penegak hukum bukannya dilindungi, malah disalah-salahkan dan dituduh tidak becus dalam menjalakan kewajiban sebagai istri sehingga dipandang wajar jadi korban.

Kemudian ia juga mengusulkan penjara perempuan harus terpisah dengan laki-laki agar hak-haknya terlindungi walaupun berstatus narapida. (*)