Tangkal Radikalisme Melalui Gerakan Kembali Ke Surau

id #surau #Paham Radikal

Tangkal Radikalisme Melalui Gerakan Kembali Ke Surau

Surau Lubuak Landua yang terletak di Jorong Lubuak Landua Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat terlihat masih kokoh meskipun sudah berdiri sejak tahun 1921 sebagai surau tempat pengembangan ilmu agama. (Antara)

Padang, (Antara Sumbar) - Munculnya paham kiri salah satu faktornya disebabkan pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran agama yang tidak dimulai dari dasar. Tapi melompat langsung ke level menengah atau level atas, akibatnya dapat memunculkan pemahaman tak utuh dan bahkan keliru.

Parahnya ada yang memahami ayat-ayat dalam kitab suci (Al-Quran) dan Sunnah Nabi (Hadist) sepotong-sepotong, akibatnya dapat menimbulkan pemahaman yang ekstrim. Sehingga ruang nalar dan logika melihat sesuatu kian sempit. Seolah-olah kebenaran hanya atas paham sendiri dan kecenderungan mempedomani hanya pada doktrin yang diperoleh dari kelompoknya semata.

Justru itu, pengenalan dan mempelajari ajaran agama sejak dini penting sesuai dengan kearifan lokal yang sudah lama dikembangkan di daerah masing-masing. Di Sumatera Barat yang sudah turun temurun yaitu di sebut komunitas Surau.

Belajar di Surau (Musallah) bagi generasi Minangkabau yang pernah mengalami pada masanya, diyakini sulit atau tidak akan pernah ditemukan pemahaman agama yang menyeleweng dari konsep ajaran Islam. Jika ada yang masuk dalam data terlibat kelompok radikal atau teroris, bisa saja pemahaman diperoleh setelah berada di luar Sumatera Barat.

Umumnya yang dipelajari dalam komunitas Surau, dasar agama (rukun iman, rukun islam, tatacara ibadah dan mengaji serta ilmu tadwid) dan lebih pada penguatan akidah dan bagaimana berdakwah. Bagi yang melanjutkan ke pesantren untuk lebih mendalami. Jika melanjutkan ke sekolah umum, didalami pemahaman agama melalui wirid remaja dan pesantren Ramadhan.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)Imam Bonjol Padang Prof. Dr. Duski Samad, M.Ag ketika diminta pandangannya di Padang, Senin, 25 September 2017, menyampaikan inti kembali ke surau mengetahui dan mengamalkan Islam yang menghargai adat, budaya dan kearifan lokal.

Islam yang diajarkan dipraktekkan pada komunitas Surau yang sudah berkelindan dengan sistem nilai lokal dan kebangsaan yang telah diwaris para pendahulu masyarakat Minangkabau. Adat, budaya dan keragaman dihargai sebagai budaya dan tidak saling menafikan agama. Prinsipnya, adat raso, pareso, malu dan sopan dipraktekkan di surau, lalu itu diperkuat oleh akhlak mulia sesuai dengan tuntunan dalam Islam.

"Kearifan lokal Minangkabau menolak pola dan cara penjelasan konsep-konsep ajaran agama Islam yang diselewengkan serta dieksploitasi dengan pemaksaan," tegasnya.

Jadi, implementsi wirid remaja maupun didikan subuh masih relevan dewasa dari sisi lokasi, konten dan semangatnya. Gerakan Kembali ke Surau masih perlu dioptimalkan untuk menangkal paham kiri. Namun, tak kalah pentingnya harus diiringi dengan dukungan kebijakan, anggaran dan keterlibatan banyak pihak atau stakeholder, serta diperlukan keseriusan.

Selain itu, dalam mencegah paham radikalme terhadap generasi muda maka kearifan lokal dalam bentuk modal sosial lembaga adat, suku, tokoh adat, ulama, bundo kandung, ivent budaya tradisional dapat difungsikan.

Ketua MUI Kota Padang itu, juga pernah menyampaikan dalam Trainer of Trainer (ToT) Lembaga Ketahanan Nasional RI, Nilai-nilai Kembangsaan di Padang, pada Juli 2016. Ia menyampaikan tidak berlebihan jika masyarakat Minangkabau dikatakan yang religius. Falsafah Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah (ABS-SBK) memberi format yang jelas akan identitas masyarakat Minangkabau.

Falsafah adat tidak menafikan bahwa masyarakat Sumatera Barat cukup majemuk, bahkan memberi ruang kepada setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

Selain memiliki budaya tinggi dan karakteristik yang kuat, kata dia, masyarakat Minangkabau juga mempunyai institusi yang mapan untuk menopang pola hidup dan tingkah laku anggota masyarakatnya. Pola tingkah laku dalam beradat dan beragama diatur sedemikian rupa dalam wadah yang sering disebut oleh komunitas lokal dengan Surau, Nagari, dan Suku.

Remaja Masjid

Bila pemahaman aktivitas di surau/musalla sekarang ini, disamakan seperti masa lalu tentu tidak mungkin. Dulu, kalau anak-anak usia sekolah, apalagi SMP dan SLTA setelah aktivitas mengaji di senja hari (mulai ba'dah magrib hingga Isya) sebagian besar tidur di surau.

Bangunan surau umumnya berlantai dan berdinding papan. Memang tidak ada listrik. Saat mengaji pakai lampu pelita dan patromax. Sekarang musalla sudah ada aliran listrik dan bentuk konstruksi bangunan material pun sudah berubah. Sudah ada pula yang menginap dimusalla/masjid yakni garin sekaligus merangkap sebagai guru mengaji.

Sehingga budaya dan meramaikan surau atau masjid terus berlangsung, hanya pola sudah berbeda. Kegiatan mengaji pada sore hari, dan pada subuhnya diaktifkan didikan subuh sekali sepekan. Begitu pula kegiatan remaja masjid yang persertanya pelajar tingkat SLTP hingga SLTA setiap badah isya sekali sepakan.

Seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang Pilut Furqhon mengatakan, penting adanya kegiatan remaja masjid. Karenanya dia bersama-sama dengan teman-teman yang sedang kuliah diberbagai perguruan tinggi menggas hadirnya kegiatan remaja masjid dikampungnya.

Tujuannya supaya anak usia sekolah dan termasuk yang sudah kuliah sama-sama meningkatkan pemahaman keagamaan secara baik. Sebab, pengaruh yang akan merusak akhlak dan moral generasi muda sangat banyak.

Berbagai obat terlarang sudah masuk ke pelosok desa, pergaulan bebas, minuman keras kian mengkhwatirkan. Apalagi, kata mahasiswa jurusan ilmu sejarah itu, banyak kelompok- kelompok yang memahami ajaran agama tidak secara utuh dan benar. Salah memahami bisa dapat terjerumus dan bisa jadi pemicu timbul paham kiri atau radikal.

Butuh Keseriusan

Dalam pembentukan karakter dan pembinaan mental generasi sejak dini dan kalangan remaja harus mendapat perhatian dari pemerintah daerah, terutama berkaitan pengalokasian anggaran. Pemerintah Provinsi Sumbar sebagai bentuk kepedulian pembentukan karakter generasi yang agamis melalui Biro Pembinaan Mental dan Kesra mengalokasikan anggaran untuk pembinaan didikan subuh, merupakan bagian dari kegiatan meramaikan masjid.

Kepala Bagian Pembinaan Mental Biro Bintal dan Kesra Setdaprov Sumbar, Karimis mengatakan program pembinaan didikan subuh sudah berjalan sejak beberapa tahun terakhir, guna melihat sistem kelembagaan, sumber daya manusia dan kurikulum.

Program lain, pembekalan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dan pelestarian nilai adat dan budaya bagi generasi muda. Selain itu, pembinaan tenaga pengajar atau guru Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) dan majelis taklim serta iman masjid.

Melalui program penilaian dari provinsi itu, hendaknya terjadi perbaikan pada tiga aspek tersebut, serta mendorong semangat banyak pihak di setiap kabupaten dan kota agar memberi perhatian.

Karimis mengakui, dari pelaksanaan program yang sudah dijalankan rutin itu, masih ada ditemukan beberapa kelemahan, di antaranya berkaitan dengan penganggaran melalui APBD kabupaten/kota.

"Masih ditemukan ada kepala daerah yang belum memberi perhatian serius dalam pembentukan karakter generasi muda melalui program-program keagamaan, khususnya didikan subuh. Ada sebagian kecil daerah di Sumbar belum mengalokasikan anggaran," katanya.

Selain itu, bukti kurang kepedulian ketika tim penilai yang terdiri atas unsur pemerintah provinsi, perguruan tinggi, dewan masjid dan Kanwil Kemenag Sumbar, ada kepala daerah yang tidak mau datang pada hari terakhir penilaian.

Tapi, ada beberapa daerah dari 19 kab/kota di Sumbar yang cukup maksimal memberikan perhatian langsung seperti kepala daerah turut hadir saat pelaksanaan evaluasi oleh tim provinsi.

"Kalau provinsi sifatnya sebagai pendorong, maka anggaran dialokasi rata-rata di atas seratusan juta rupiah per tahun. Bagusnya ada daerah yang mengalokasi di atas Rp300 jutaan untuk pembinaan didikan subuh dan remaja masjid setiap tahunnya," ujarnya.

Dengan keseriusan kabupaten atau kota dalam program peningkatan, penghayatan dan pengalaman nilai-nilai ajaran agama sejak dini, diharapkan bisa melahirkan generasi yang religius dengan pemahaman secara baik dan benar. "Program pembinaan ini tentu lebih serius harus dilakukan pemerintah kab/kota. Sehingga SDM yang masih terbatas selama ini bisa lebih baik dalam pelaksanaan program keagamaan di masa mendatang,"ujarnya.

Keeragaman sudah suatu keniscayaan yang harus dijadikan energi untuk membangun kemajuan bangsa dan "damai itu indah". (*)