Menlu Bicara Hak Kebebasan Beragama di PBB

id Retno Marsudi

Menlu Bicara Hak Kebebasan Beragama di PBB

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. (Antara)

New York, (Antara Sumbar) - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menjadi salah satu panelis pada Simposium Tahunan Trygve Lie membahas kebebasan beragama yang digelar oleh International Peace Institute (IPI) di sela Sidang Majelis Umum ke-72 PBB di New York, Kamis.

Simposium Tahunan Trygve Lie tentang Kebebasan Fundamental tersebut digelar di UN Plaza dan merupakan hasil kerja sama antara IPI dan Kementerian Luar Negeri Norwegia yang dimulai pada 2008 lalu.

Menlu Retno memaparkan kepada para peserta simposium, yang berasal dari berbagai komunitas internasional, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, mencapai 85 persen dari total jumlah penduduk yang sebesar 260 juta.

Indonesia juga menjadi rumah bagi umat beragama seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu serta penganut kepercayaan.

"Toleransi lah yang membuat Indonesia bersatu sebagai suatu negara. Oleh karena itu usaha-usaha kita untuk melindungi hak-hak kebebasan beragama dan perdamaian harus berjalan bersama dengan kerja kita dalam memelihara toleransi," kata Menlu Retnodi New York, Kamis.

Menlu mendorong semangat toleransi dan juga kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah satu cara effektif untuk melawan ekstrimisme yang mengatasnamakan agama.

"Ektrimes religius telah dengan tidak benar menggunakan agama untuk membenarkan kebijakan yang tidak berperikemanusiaan mereka," kata menlu.

Salah satu isu yang mengemuka di dalam simposium tersebut adalah soal krisis di Rakhine, Myanmar.

Menteri Luar Negeri Norwegia Borge Brende, yang juga menjadi pembicara, menggarisbawahi bahwa walaupu etnis Rohingya bukanlah etnis mayoritas di Myanmar, tetapi mereka juga adalah etnis yang penting bagi masyarakat dunia.

PBB menyebut etnis Muslim Rohingya sebagai salah satu kelompok etnis minoritas paling teraniaya di dunia.

Hak asasi manusia adalah universal dan tidak mungkin memisahkan hak-hak mereka untuk kebebasan beragama atau berkepercayaan dari hak-hak sipil paling dasar dan hak-hak politik seperti hak untuk hidup, hak untuk privasi, dan kebebasan untuk berkumpul dan berekspresi, kata Brende.

"Kebencian kolektif yang bersifat religius bukan lah suatu fenomena alami, tetapi itu disebabkan oleh tindakan manusia. Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi dan adalah kewajiban moral kita untuk bekerja mencari solusi," kata Brende.

Dalam simposium tersebut Presiden IPI Terje Rod-Larsen meminta Menlu Retno Marsudi untuk menceritakan perjalanan diplomasinya ke Myanmar dan Bangladesh terkait krisis kemanusiaan di Rakhine.

"Saya menyebutnya maraton diplomasi," kata Retno.

Dimulai pada 3-5 September, Menlu Retno terbang ke Myanmar untuk bertemu panglima militer, penasehat negara dan sejumlah menteri Myanmar, serta perwakilan PBB dan duta besar di Yangoon dan Naypyidaw.

Dalam pertemuan dengan Aung San Suu Kyi, Retno menyampaikan Formula 4+1 untuk Rakhine State.

Empat elemen ini terdiri dari: (i) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (ii) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (iii) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (iv) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.

Empat elemen pertama dari formula tersebut adalah tanggung jawab bagi pemerintah Myanmar, kata menlu.

Sedangkan, satu elemen lainnya adalah pentingnya agar rekomendasi Laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine State yang dipimpin mantan Sekjen PBB Kofi Annan dapat segera diimplementasikan.

"Apa yang dunia internasional bisa lakukan adalah memberikan bantuan kemanusiaan dan juga implementasi dari laporan Annan tersebut," kata Menlu.

Setelah itu menlu melanjutkan perjalannya ke Dhaka, Bangladesh untuk bertemu menlu Bangladesh, UNHCR dan IOM untuk mendapatkan penjelasan tentang perkembangan situasi para pengungsi Rohingya di perbatasan Myanmar dan Bangladesh.

Hadir sebagai panelis lainnya adalah Pageran Zeid Ra'ad Al Hussein dari badan urusan HAM PBB, OHCHR, dan Direktur Eksekutif Minority Rights Group Mark Lattimer. (*)