LBH Padang: 37 Konflik Agraria Sepanjang 2016

id Konflik, Agraria, Sumbar

Padang, (Antara Sumbar) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Padang, Sumatera Barat menemukan 37 konflik agraria dengan total luas areal konflik mencapai 117.505 hektare yang tersebar di tujuh kabupaten/kota sepanjang 2016.

"Tujuh daerah tersebut adalah Kabupaten Pasaman Barat, Agam, Sijunjung, Dharmasraya, Solok Selatan, Pesisir Selatan, dan Kota Padang," kata Direktur LBH Padang, Era Purnamasari dalam seminar nasional dengan tema "Tantangan Perekonomian Sumbar Kini dan Masa Mendatang" di Aula Bank Indonesia, Kamis.

Daerah dengan konflik tertinggi, katanya berada di Kabupaten Pasaman Barat dengan total 22 laporan kasus. Sementara penyumbang luas areal lahan yang berkonflik terluas berada di Kabupaten Dharmasraya dengan total luas areal konflik mencapai 30.311 Hektare.

Ia merincikan, luas areal konflik Kabupaten Agam di atas 11.031 hektare dengan tujuh konflik, Solok Selatan 13.814 hektare dengan satu konflik, Pesisir Selatan 2.783 hektare dengan satu konflik, Sijunjung 11.031 hektare dengan satu konflik dan Kota Padang 19.280 hektare dengan dua konflik.

Jenis persoalan pada konflik agraria tersebut, kata dia antara lain penolakan terhadap perusahaan di daerah, penyerahan tanah ulayat, perampasan tanah milik masyarakat, dan lain sebagainya.

"Pembangunan seharusnya tidak memiskinkan dan tidak melanggar hak-hak ekonomi sosial dan budaya," ujarnya.

Ia menjelaskan masyarakat Sumbar merupakan masyarakat hukum adat dimana tanah juga bagian dari identitasnya, menghilangkan hak-hak atas ulayat berarti pula membuat masyarakat adat kehilangan identitasnya.

Pemerintah daerah, katanya harus memberikan jaminan terhadap keberlangsungan pemilikan masyarakat atas penguasaan alat-alat produksi khususnya sektor SDA, serta perlu adanya skema-skema investasi yang berkeadilan ekonomi dan berkeadilan ekologi.

Ia menyarankan, pemerintah daerah harus berupaya serius dalam memfasilitasi penyelesaian Konflik-konflik SDA, mengembalikan alat-alat utama sumber ekonomi atau mata pencaharian masyarakat. (*)