Pemerintah Diminta Serius Kembangkan Energi Baru Terbarukan

id Satya Widya Yudha

Pemerintah Diminta Serius Kembangkan Energi Baru Terbarukan

Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha. (Antara)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha meminta Pemerintah Indonesia serius mengembangkan energi baru dan terbarukan menyusul semakin menurunnya kualitas udara di kota-kota besar akibat polusi.

"Krisis pemanasan global sudah di depan mata dan menjadi ancaman serius," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Senin.

Hal tersebut disampaikan Satya dalam acara World Bank Civil Society Forum di Washington DC, Amerika Serikat, belum lama ini.

"Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak krisis pemanasan global dan perubahan iklim. Ini yang harus menjadi perhatian untuk tidak mengabaikan isu tersebut," kata Satya yang berbicara dalam forum bersama antara lain mantan Menkeu Pakistan Naveed Qamar dan Lauri Myllyvirta dari Greenpeace International.

Ia memberikan apresiasi bahwa selama 2,5 tahun periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo terdapat berbagai upaya nasional untuk mengantisipasi dan memitigasi dampak perubahan iklim tersebut sebagai bagian dari komitmen internasional dan juga sebagai inisiatif dan aksi strategis pemerintah ke depan.

"Indonesia harus mengambil peran penting sebagai negara yang aktif mengampanyekan perubahan iklim. Pemerintah dan DPR terus bersinergi sejak penandatanganan persetujuan Paris (COP21)," jelas wakil rakyat dari Partai Golkar itu.

Menurut dia, penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia berasal dari "land use land use change and forestry" (LULUCF) dengan porsi 50 persen, disusul energi menyumbang emisi 30 persen, yang berasal dari transportasi sebesar 12 persen.

"Sebanyak 90 persen penyebab polusi udara dari BBM transportasi darat," ujarnya.

Lebih jauh, Satya mengatakan energi di masa depan ditentukan seberapa besar pemanfaatannya terhadap energi baru terbarukan (EBT).

"Negara-negara maju saat ini mulai beralih ke EBT. Indonesia juga harus konsisten menggunakan EBT mulai dari konversi ke BBG (bahan bakar gas) jenis CNG (terkompresi) hingga mengubah BBM yang kini beroktan 88 ke Euro4 bahkan Euro5 untuk menjamin energi bersih," ujarnya yang juga mendengarkan paparan ahli ekonomi Tiongkok Ma Jun tentang Air Pollution Economy In China.

Ia menggarisbawahi visi pembangunan energi Indonesia ke depan haruslah menitikberatkan pada pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).

Pada 2015, bauran energi nasional terdiri dari 39 persen minyak, 22 persen gas, 29 persen batubara, dan 10 persen EBT.

Lalu, pada 2025 bauran energi direncanakan menjadi 25 persen minyak, 22 persen gas, 30 persen batubara, dan 23 persen EBT serta pada 2050 menjadi 20 persen minyak, 24 persen gas, 25 persen batubara, dan 31 persen EBT.

"DPR akan terus mendukung visi pemerintah tentang bauran energi hingga 2050 yang mengutamakan penggunaan EBT hingga 31 persen. Bahkan, kami di Komisi VII juga mendorong pembentukan UU EBT," katanya. (*)