Senyum Petani Kakao Solok Sambut Membaiknya Harga

id coklat

Senyum Petani Kakao Solok Sambut Membaiknya Harga

Tanaman kakao. (ilustrasi)

Petani kakao (Theobroma cacao L) di daerah sentra produksi hasil perkebunan Kota Solok, Sumatera Barat, kini bisa tersenyum manis tanda bahagia dalam menyambut kondisi membaiknya harga komoditas itu di pasaran.

Seperti dirasakan petani di Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok yang menyatakan bahwa kini mereka bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia setelah mengetahui kenaikan harga komoditas kakao atau cokelat di tingkat petani dan pedagang pengumpul.

Harga kakao di Kota Solok kini sudah menembus angka Rp35.000 per kilogram, naik dari sebelumnya Rp24.000/kilogram.

"Tingkat harga Rp24.000 per kilogram itu telah bertahan cukup lama. Alhamdulillah sekarang telah melonjak naik ke posisi harga yang baik," kata Siman (47) petani kakao di Solok.

Menurutnya membaiknya harga komoditas itu membuat petani kakao sangat terbantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan biaya sekolah anak-anaknya.

Kondisi ini cukup beralasan karena warga di daerah itu umumnya mengandalkan penghasilannya dari berkebun kakao, tambahnya.

Kakao merupakan bahan baku untuk membuat aneka makanan cokelat dan harganya sudah membaik sejak awal Maret 2017.

Petani berharap kondisi membaiknya harga tersebut bisa terus bertahan dan stabil pada posisi Rp35 ribu/kg.

Ia menambahkan jika harga kakao bertahan baik maka para petani tanaman ini akan lebih bersemangat dalam merawat kebunnya.

Perkebunan kakao akan mendapat perhatian dan tempat khusus seperti komoditas beras, jagung, dan cabai yang selalu dicari para pedagang pengumpul, ujar Siman.

Petani kakao lainnya, Syafirman (52) menyebutkan membaiknya harga kakao saat ini telah membuat petani yang mengusahakan tanaman ini menjadi semakin rajin membersihkan kebunnya.

Upaya para petani kakao tersebut terlihat di daerah Laing, Ampang Kualo, Tanah Garam dan sekitarnya yang selama ini menjadi kawasan penghasil kakao di Kota Solok.

Karena sebelumnya harga kakao pada posisi rendah dan tidak stabil membuat kebanyakan petani tidak terlalu mengurus kebun komoditas ini, tapi kini hampir semua kebun kakao sudah disiangi, sehingga nyaris tanpa gulma (tanaman belukar pengganggu), tambahnya.

Sementara salah seorang pedagang pengumpul komoditas perkebunan dan pertanian di Kota Solok, Papat (35) mengemukakan, naik dan membaiknya harga kakao kemungkinan disebabkan permintaan komoditas ini dari kalangan pengusaha meningkat, sedangkan ketersediaan stok di pasaran dan dipetani terbatas.

"Sehingga setiap produksi kakao yang terkumpul selalu habis diborong mereka", ujarnya.

Meski demikian, ia tidak bisa memastikan sampai kapan harga kakao ini membaik minimal bertahan pada posisi Rp35 ribu/kg, karena komoditas tersebut termasuk jenis hasil bumi yang harganya terbilang tidak stabil.

Perkebunan kakao di Kota Solok masih menjadi tanaman alternatif atau selingan untuk mengisi lahan kosong, namun hampir merata ada di setiap kelurahan.

Sementara itu Kepala Seksi Perkebunan, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kota Solok, Rini Meliza mengemukakan produksi kakao di daerah tersebut pada 2016 mencapai 229,54 ton, dengan persebaran 135,5 ton di Kecamatan Lubuk Sikarah, dan 94 ton di Tanjung Harapan.

Daerah penghasil kakao terbesar di Kota Solok adalah Payo, Kelurahan Tanah Garam, Laing, Ampang Kualo, dan Kampung Jawa.

Sedangkan luas tanam kakao di Kecamatan Lubuk Sikarah mencapai 190 hektare dan Tanjung Harapan terdata 164 hektare.

"Sampai sekarang petani baru bisa menjual biji kering kakao karena belum ada mesin pengolahan turunan kakao," katanya.

Pengembangan Kakao

Provinsi Sumatera Barat sudah lama bertekad menjadikan daerahnya salah satu sentra produksi komoditas kakao di Pulau Sumatera.

Tekad tersebut didukung oleh tingkat kesuburan tanah untuk lahan kebun kakao dan luas areal tanam yang cukup baik untuk pengembangan komoditas ini.

Ditambah keinginan dan ketekunan para petani untuk membudidayakan tanaman kakao cukup tinggi.

Tekad ini juga dibuktikan dengan terus bertambahnya luas perkebunan kakao di provinsi ini dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data pada 2010 luas kebun kakao di Sumatera Barat tercatat 110 ribu hektare dan meningkat dalam lima tahun berikutnya atau pada 2015 menjadi 159 ribu hektare.

Dinas Perkebunan Sumatera Barat setiap tahunnya terus melakukan ekstensifikasi areal tanaman komoditas kakao di hampir semua kota dan kabupaten terutama yang menjadi daerah sentra produksi tanaman ini.

Lalu terus mendorong semangat para petani kakao selaku pelaku di lapangan dan menyalurkan bantuan bibit tanaman itu serta pupuknya.

Sebagai contoh pada 2016 Dinas Perkebunan Sumatera Barat menyalurkan bibit kakao mencapai 40 ribu batang yang disebarkan ke setiap kabupaten/kota yang jadi daerah sentra produksi tanaman ini.

Pihak terkait mengharapkan agar bibit kakao yang telah disalurkan itu dapat ditanam dan dipelihara. Mulai dari pemupukan, disiangi, melakukan pengendalian hama penyakit tanaman.

Para petani kakao diberikan pengetahuan tentang empat hal yang penting memerhatikan dengan baik yakni memakai bibit dan buah kakao yang berlabel dan sertifikat, melakukan pemupukan secara teratur dan rajin memangkas dahan-dahan kakao.

Tanaman kakao memang butuh pelindung tapi bukan berarti tak memerlukan cahaya matahari, untuk memperolehnya perlu memangkas dahan-dahannya supaya kelembaban tidak tinggi.

Budi daya kakao yang lahan sekitarnya terlihat bagus, bersih, tanamannya subur dengan produksi dan harganya terus membaik, akan membuat petani bisa bertahan menikmati senyum bahagia. (*)