Jakarta, (Antara Sumbar) - Pemerintah dinilai perlu membenahi konsistensi data dari berbagai komoditas dalam sektor kehutanan dan pertambangan termasuk jumlah produksi dan ekspor karena dapat berpotensi merugikan dari aspek penerimaan negara.
"Kondisi sumber daya lama banyak menjadi catatan, baik temuan audit BPK, BPKP dan Pajak, ada dugaan yang seharusnya menjadi penerimaan negara tetapi tidak bisa diterima oleh negara karena berbagai faktor," kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas dalam seminar di Jakarta, Kamis.
Firdaus Ilyas memaparkan, kajian yang dilakukan ICW menemukan adanya indikasi kerugian negara terhadap pengelolaan sumber daya alam pada studi kasus kehutanan, timah dan nikel.
Misalnya dari penelusuran ekspor nikel ore tahun 2007-2015, ICW menemukan adanya perbedaan data volume ekspor tersebut di antara berbagai instansi pemerintah.
"Kami menemukan perbedaan data antara data ekspor BPS atau Kemendag, data dari Kementerian ESDM, dan data dari negara-negara pembeli," paparnya.
Ia mencontohkan, pada periode 2007-2015, total realisasi ekspor nikel ore yang tercatat pada Kementerian ESDM adalah 158,15 juta ton, sementara menurut data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perdagangan adalah 205,8 juta ton.
Sedangkan jika dicek pada statistik dan kepabean negara-negara pengimpor nikel ore dari Indonesia dalam periode yang sama, total yang diterima mereka adalah 168 juta ton. "Apakah berbeda di atas kertas ataukah hilang di tengah laut atau ada faktor lainnya," katanya.
Firdaus Ilyas memaparkan, pada kasus ekspor timah periode 2004-2015, total volume ekspor timah yang tercatat pada pemerintah sebanyak 1,17 juta metrik ton (MT), sementara dari statistik perdagangan seluruh negara importir timah yang berasal dari Indonesia didapat total volume timah adalah 1,56 juta MT.
Begitu pula dalam sektor kehutanan, juga ditemukan perbedaan seperti antara perbandingan volume kayu yang tercatat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta data volume deforestasi kayu dari BPS.
Sebelumnya, peneliti ICW Mouna Wasef menyatakan, pemerintah daerah dinilai perlu lebih efektif dalam melakukan pengawasan pengelolaan sumber daya alam di berbagai daerah agar tidak terjebak kepada berbagai fenomena yang berpotensi mengarah kepada penyimpangan.
Sebagaimana diketahui, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) merupakan bentuk inisiatif untuk mengatasi sejumlah persoalan pada pengelolaan SDA sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
GNPSDA itu sendiri dicanangkan pada 19 Maret 2015 di Istana Bogor dengan disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo, serta 29 pimpinan Kementerian dan Lembaga. Deklarasi tersebut lalu menghasilkan nota kesepakatan dan Rencana Aksi Bersama GNPSDA.
ICW menemukan bahwa pemda belum berkomitmen penuh seperti dalam mendorong keterbukaan informasi dan partisipasi publik di masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
"Belum terbangunnya koordinasi yang baik dan tegas antara SKPD di kabupaten kota dengan SKPD di tingkat provinsi, sehingga saling lempar kebijakan," tuturnya. (*)
Berita Terkait
Dinilai ranah KPK, Polri limpahkan aduan ICW soal Lili Pintauli kepada KPK
Jumat, 10 September 2021 13:11 Wib
ICW laporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Bareskrim atas dugaan penerimaan gratifikasi
Kamis, 3 Juni 2021 12:23 Wib
Inilah persoalan ekspor benih lobster dari hulu hingga hilir menurut ICW
Senin, 30 November 2020 12:20 Wib
KPK masih cari tersangka kasus suap eks Caleg PDIP Harun Masiku
Senin, 2 November 2020 10:02 Wib
Putusan etik Firli ditunda Dewas KPK, ICW: Jangan sampai dimanfaatkan oknum tertentu
Rabu, 16 September 2020 11:59 Wib
Ini tiga catatan ICW terkait pemeriksaan etik Ketua KPK
Rabu, 26 Agustus 2020 7:48 Wib
ICW soroti jumlah tangkap tangan KPK yang merosot
Kamis, 25 Juni 2020 16:25 Wib
ICW duga Firli Bahuri langgar kode etik
Kamis, 25 Juni 2020 14:31 Wib