Kesadaran Politik Umat Hadapi Marjinalisasi Islam Indonesia

id Kesadaran Politik Umat

London, (Antara Sumbar) - Dibutuhkan mendesak kesadaran politik umat dalam menghadapi gejala upaya terus menerus dalam memarjinalkan posisi Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, menyusul rentetan kejadian politik dalam proses Pilkada di ibu kota negara DKI Jakarta.

Keprihatinan marjinalisasi umat Islam di Indonesia terungkap dalam kajian "Mutiara Ummat" yang diikuti muslimah dari berbagai negara yang diadakan Keluarga Islam Britania Raya (KIBAR) di London, Minggu (12/2).

Kajian mengangkat tema politik dengan narasumber Nurisma Fira ibu rumah tangga sekaligus anggota KIBAR), Ustadzah Iffah Ainur Rochmah juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, kata mahasiswi riset politik University of Essex UK dan staf pengajar IPDN Indonesia Hasna Azmi Fadhilah.

Diawali dengan materi yang disampaikan Nurisma Fira, ibu empat anak ini menyajikan beragam peristiwa politik Indonesia yang menarik perhatian umat muslim, dari kasus tuduhan pelecehan Al-Quran, penggeledahan rumah beberapa ustadz, hingga kasus diusirnya wakil sekjen/wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain yang ditolak di Sintang.

Dari begitu banyak kasus yang menyeret para ulama ini, Nurisma Fira mengungkapkan keprihatinannnya tidak semua kasus mendapat sorotan intens media, bahkan satu-dua kasus melibatkan oknum ormas terlihat tidak pernah dituntaskan.

Timbullah pertanyaan: bagaimana semua ini terjadi dan bagaimana sebaiknya merespon. Menyikapi pertanyaan Hasna yang menjadi pembicara mengatakan apa yang terjadi di Indonesia saat ini, merupakan hasil dari rentetan perkembangan hubungan politik antara pemerintah dan umat muslim semenjak era Soeharto.

Pada saat itu, kegiatan keagamaan dibatasi membuat rakyat tidak memiliki kebebasan dalam mengungkapkan pendapat dan berdemonstrasi. Hubungan yang berjarak antara pemerintah dan kaum mayoritas inilah yang tidak berubah meski sudah memasuki era demokrasi. Umat muslim yang kini sudah semakin lantang menyuarakan pendapatnya, masih dianggap sebagai `kaum pemberontak, padahal murni umat islam ingin opini mereka didengar.

Kesalahpahaman antara pemerintah dan umat inilah yang harus dijembatani dengan sosialisasi politik secara luas pada masyarakat. Jangan sampai politik dicap negatif, membuat rakyat, terutama generasi muda menjadi antipati terhadap politik-yang notabene merupakan proses pengambilan keputusan bagi sekelompok orang.

Menanggapi rangkaian politik yang terjadi, ustadzah Iffah dari Hizbut Tahrir mengungkapkan rasa kesedihannya.

Namun dibalik itu, ia mengatakan sistem yang diterapkan di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan. Hal inilah yang menyebabkan banyak pihak yang berkepentingan memanfaatkan situasi ini untuk melindungi yang mereka lakukan.

Sehingga wajar bila kemudian beberapa pihak yang melanggar hukum, melenggang bebas di negeri ini. Padahal bila menilik pada jaman Rasul, setiap pelanggaran hukum, akan ditindak dengan tegas, tidak ada tebang pilih dalam penegakan hukum, baik bagi si kaya maupun miskin.

Dari materi-materi yang disampaikan narasumber, sangatlah jelas bila umat islam tidak ingin kembali dimarjinalkan, diperlukan penyadaran dan perjuangan politik secara menyeluruh. Tidak sekedar menuntut perubahan tetapi juga terlibat aktif dalam politik.

Caranya sederhana, bisa dimulai dari lingkungan keluarga dengan mengajak diskusi anak, memilih pemimpin memikirkan kepentingan umat, hingga memaksimalkan peran.Karena pekerjaan apapun bila mampu memberikan manfaat pada orang banyak, hal tersebut adalah salah satu bentuk partisipasi politik warga negara. (*)