Menanti Kontribusi Irigasi Batanghari Penyangga Pangan Nasional

id Irigasi Batanghari

Menanti Kontribusi Irigasi Batanghari Penyangga Pangan Nasional

Irigasi Batanghari. (Antara)

"AYAM mati di lumbung padi", penggalan pribahasa ini syarat makna dan penting dipahami untuk meluruskan logika berpikir semua orang. Sebab, tak mungkin seekor ayam mati ditengah tumpukan padi. Jika itu terjadi maka ada persoalan?.

Demikian pula halnya aset yang sudah dibiayai negara sekitar Rp1,4 triliun untuk membangun irigasi Batanghari sejak 1997 silam. Apabila pemanfaatkan tidak maksimal maka, jelas sulit menuju daerah penyangga pangan nasional. Maka akan mengenak penggalan pribahasa pembuka kalimat di atas tersebut.

Harapan besar untuk penyangga pangan nasional di wilayah perbatasan Sumbar-Jambi itu, bukan pula suatu yang baru karena sudah dicetuskan pemerintah sejak era 1980-an seiring berkembangnya program transmigrasi ke daerah itu.

Impian untuk menerima kontribusi pangan dari irigasi Batanghari yang membentang panjang di Kabupaten Dharmasraya, bukan tak beralasan dan bukan pula mimpin disiang "bolong". Mungkin saja wujud nyatanya bisa dalam hitungan satu atau dua tahun mendatang, tinggal bagaimana pengelolaan dan kemauan politik kepala daerah.

Apalagi, keberadaan irigasi Batanghari bukan pula hal baru di daerah itu. Sebelumnya pada 1976 sudah ada irigasi Sungai Daerah-Sitiuang (Sedasi) yang jadi tumpuan bagi para petani yang dominan warga transmigrasi asal Wonogiri yang baru pindah ke daerah pemekaran itu.

Irigasi Sedasi adalah air sungai Batanghari dipompa untuk disalurkan ke sawah sawah di sekitar Sitiung dan sekitarnya melalui jaringan saluran yang dibangun bersamaan dengan pompanisasi. Pusatnya intek pompanisasi irigasi Sadasi di Pisang Berebus, Kenagarian Koto Tuo.

Sadasi dioperasikan sekitar satu dasawarsa lantaran pompanya dimakan usia. Seiring air sungai Batanghari yang kian menurun debitnya serta sedimentasi yang tinggi di sekitar bangunan intek.

Tahun berganti tahun, petani masih tetap menjadikan sawah --yang dicetakkan pemerintah-- sebagai aset andalan mereka untuk sumber utama pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, khususnya bagi warga transmigrasi.

Kendatipun ada sebagian kecil pada era 1990-an lahan sawah dialihfungsikan untuk sektor perkebunan karena sulitnya air dari sumber intek Sedasi. Kegelisahan petani waktu itu mulai terjawab adanya program pemerintah membangun bendungan Irigasi Batanghari di sungai yang bermuara ke Provinsi Jambi itu, pengganti sistem pompanisasi Sedasi ke bendungan teknis.

Proyek raksasa yang dikerjakan sejak 1997, dan maksimal mulai dikerjakan pada 2007 yang didukung pendanaan oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sekitar Rp1,4 triliun yang punya kafasitas mampu mengairi sawah sekitar 18.000 - 20.000 hektare. Sebagian besar irigasi mengaliri hamparan sawah di Dharmasraya dan sisanya di Provinsi Jambi.

Bendung yang berlokasi di Batu Bakauik dibangun, termasuk saluran induk, sekunder dan tersier dan percetakan sawah baru. Dalam perjalanan pembangunan irigasi itu, dihadapkan pula alihfungsi lahan karena era 1990-an masuk "Galodo Tanaman Komoditas Sawit", sebagian ditanami pohon karet. Akibatnya hanya sekitar 4.000 hektare yang diairi ketika mega proyek itu resmi beroperasi pada beberapa tahun lalu.

Kendati demikian, Dharmasraya sebagai daerah pemekaran dari Sijunjung pada 2003 itu sudah menikmati keberadaan irigasi raksasa tersebut, buktinya pada lima tahun belakangan pernah terjadi surplus beras.

Dari data dilansir portal berita www.antarasumbar.com Pemkab Dharmasraya mengalami surplus beras sekitar 30 persen pada 2013. Produksi beras pada 2011 berjumlah sebesar 67 ribu ton lebih dan mengalami kenaikan 37 ribu ton pada 2012 dengan luas sawah 7.200 hektare yang diolah petani dari total sawah 9.200 ha di kabupaten itu.Upaya cetak sawah baru terus pula berlanjut di daerah itu seiring dengan program pemerintah pusat.

Hal yang cukup mengembirakan pula diawal November 2016, para pemangku kepentingan dari kementerian terkait dan instansi dari Provinsi Jambi (Pemkab Bungo dan Pemkab Tebo) dan dari dinas pertanian Sumbar, serta tuan rumah Pemkab Dharmasraya.

Sebagaimana dirilis Humas Kabupaten Dharmasraya, pihak yang hadir dalam Rapat Koordinasi Irigasi Batanghari, juga termasuk anggota DPR RI dari Komisi IV asal Sumbar Hermanto (Fraksi PKS) dan Syamsiati Latifah (Frkasi Golkar) daerah pemilihan Provinsi Jambi.

Direktur Rawa dari Kementerian PUPERA Ir. Rumban dan Direktur Air, Kementerian Pertanian, Ir. Tunggul, dan para pejabat yang mengelola urusan pertanian dan urusan ketahanan pangan dari dua provinsi Sumbar dan Jambi.

Rapat koordinasi yang berlangsung di Aula Kantor Bupati Dharmasraya, pada 2 November 2016, tentu merupakan langkah baru dalam mewujudkan sentra penghasil pangan nasional dengan dukungan asset bernilai triliunan itu.

Pemberdayaan dan Kemauan Politik

Dalam pemanfaatan asset sektor pertanian yang dapat menekan angka kemiskinan dan utamanya untuk ketersediaan dan penyangga pangan nasional itu, tak cukup hanya sekadar di bangun.

Namun, tak kalah penting ada upaya pemberdayaan masyarakat tani secara maskimal sehingga daerah irigasi Batanghari yang memiliki kapasitas terpasang sekitar 20 ribu hektare dapat dimanfaatkan secara totalitas.

Keberadaan irigasi bukan saja untuk urusan tanam padi semata, akan tetapi pola pengembangan terintegrasi seperti program mina padi dan pembudidayaan ikan air tawar dengan membangun kolam pada lahan-lahan terlantar di daerah irigasi tersebut.

Kehadiran pemangku kepentingan termasuk politisi senayan untuk membahas masa depan Batanghari dan program Ketahanan Pangan Nasional, merupakan langkah yang tepat.

Persoalan yang ada bukan digumam saja, termasuk penurunan fungsi irigasi akibat terbatasnya biaya operasional yang membutuhkan solusi.

Berdasarkan data dirilis Humaskab Dharmasraya, bahwa irigasi Batanghari terdiri atas koneksitas lima bendung, meliputi Bendung Batanghari, Bendung Batang Siat, Bendung Batang Piruko dan Bendung Batang Palangko serta Bendung Batang Mimpi.

Khusus Bendung Batanghari memiliki kapasitas intek 25,20 m3/dtk, lebar bendung 121 meter dengan tinggi 12,60 meter. Memiliki tiga buah pintu pengendali banjir dan empat buah pintu intake. Total panjang saluran induk atawa saluran primer sepanjang 94 km, membelah Kecamatan Pulau Punjung, Sitiung, Tiumang, Koto Salak dan Koto Baru.

Kemudian saluran sekunder panjangnya mencapai 300 km untuk membagi air ke kawasan kawasan yang membutuhkan. Untuk keperluan membagi air dibangun 425 unit pintu sadap di sepanjang saluran induk. Selain itu, irigasi Batanghari juga dilengkapi dengan jalan inspeksi sepanjang 219 km yang dapat dimanfaatkan juga sebagai jalan usaha tani bagi masyarakat.

Direktur Rawa, Kementerian PUPERA Rumban menyampaikan saat Rakor, guna mengoperasikan irigasi Batanghari ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ketersediaan dana operasional yang minim telah menyebabkan penurunan fungsi sejumlah bangunan, baik saluran, pintu sadap, drainase maupun pintu pembagi.

Keterbatasan biaya operasional itu juga menyebabkan permasalahan tersendiri dalam menentukan perioritas lokasi pemeliharaan. "Tahun ini misalnya dana operasional hanya bisa untuk merehab saluran sekunder Kampung Baru dan rehab saluran induk Batang Siat," ujar Rumban.

Sementara itu, Direktur Air, Kementerian Pertanian Tunggul mengharapkan agar anggota Komisi IV DPR RI yang hadir pada Rakor Irigasi Batanghari dapat mendorong penambahan dana operasional irigasi. Peningkatan alokasi biaya operasional supaya dapat membangun saluran untuk menjangkau sawah cetak baru. "Kita berharap Kabupaten Dharmasraya ini dapat meningkatkan kontribusinya dalam ketahanan pangan nasional," kata Tunggul.

Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan saat membukaan kegiatan itu mengungkapkan sekitar 10 ribu hektare sawah cetak baru belum beririgasi. Penambahan areal persawahan terus terjadi seperti dalam kurun lima tahun terakhir, Pemkab Dharmasraya melaksanakan program cetak sawah baru sebagai bagian dari komitmen mendukung ketahanan pangan nasional.

"Kami punya komitmen kuat untuk berkontribusi dalam ketahanan pangan nasional dengan mencetak sawah baru. Program cetak sawah baru yang melibatkan peranserta TNI. Saya memberi apresiasi," ujar bupati.

Dalam program cetak sawah baru, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dharmasraya Afdhal Jaya Putra Thamsin menyebutkan memanfaatkan lahan-lahan kelas bukan saja yang produktif, tapi areal rawa dan semak belukar.

Fakta sekarang, lahan sawah baru sudah dicetak banyak yang belum tersentuh saluran irigasi, jelas berdampak terhadap produktivitas karena air tidak mencukupi. "Apabila bisa ini segera dibangunkan saluran ke lokasi-lokasi sawah cetak baru, supaya cepat produktif," kata Afdhal.

Jika didalami yang terungkap dalam rapat koordinasi itu, ada hal yang tidak dapat mempertemukan logika normal atau cukup bertentangan. Satu sisi pengelola irigasi mengaku kelebihan kapasitas atau kapasitas terpasang seluas 18.936 hektare, dan sisi lain masyarakat mengeluh kurang air dan baru dimanfaatkan seluas 6.982 hektare, dimana persoalannya?.

Menurut anggota Komisi IV DPR RI Hermanto mempunyai solusi dengan membentuk Posko bersama yang bisa diakses, baik oleh pejabat yang mengelola urusan pertanian, urusan ketahanan pangan dan urusan pengairan, maupun oleh para petani, lembaga petani dan pemangku kepentingan lainnya.

Pola demikian, setiap ada permasalahan bisa segera diberitahu dan bisa bereaksi untuk menyelesaikan semua permasalahan yang muncul. "Para petani tidak tahu kemana mereka akan mengadu. Jadi dengan adanya Posko bersama, semuanya bisa terkomunikasi dengan lancar," ujar anggota Fraksi PKS DPR RI ini.

Membangun kesadaran masyarakat dan pemangku kepentingan jika sektor pertanian sebagai sumber ekonomi Dharmasraya, bukan persoalan yang dianggap sederhana. Begitu pula untuk pemanfaatan asset raksasa di sektor pertanian itu. Pemanfaatan air yang melimpah pun harus dibarengi pula pengetahuan yang memadai bagi masyarakat dan dukungan semua elemen terkait. Tak ada yang harus disalahkan, tapi mari kerja..kerja...kerja. ***