Jakarta, (Antara) - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Amir Yanto menyatakan musyawarah mufakat bisa menjadi alternatif penegakan hukum pidana di Indonesia kendati praktiknya masih sulit diterapkan.
"Maka untuk itu praktik musyawarah mufakat dalam penyelesaian perkara tindak pidana di Indonesia sebagai salah satu usaha untuk mencari penyelesaian perkara tindak pidana secara damai, perlu dilakukan dengan memadukan pembaharuan teori hukum pembangunan dan teori progresif yang dilaksanakan dengan didasari nilai dan etika moral Pancasila," katanya mengutip disertasinya berjudul "Alternatif Penegakan Hukum Pidana Melalui Musyawarah Mufakat Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia", di Jakarta, Senin malam.
Dalam disertasinya di Universitas Padjadjaran pada pertengahan Februari 2016, ia menambahkan nantinya akan terwujud kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan bagi tersangk, terdakwa, bagi korban, bagi masyarakat, dan bagi bangsa dan negara.
Dengan demikian tercapai kepastian hukum, keadilan yang proporsional, dan penyelesaian tersebut sesuai dengan aturan hukum sehingga dapat memberikan kemanfaatan, katanya.
Ia menyebutkan perkara pidana yang bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat itu, antara lain, tindak pidana ringan, tindak pidana aduan baik absolut maupun relatif, tindak pidana yang diancam dengan pidana denda, tindak pidana dalam kelompok pelanggaran, dan tindak pidana terhadap orang dan harta benda yang diancam pidana selama-lamanya lima tahun penjara.
Secara konseptual, kata dia, musyawarah mufakat suatu mekanisme yang memungkinkan penyelesaian perkara tindak pidana tertentu dialihkan dari proses peradilan pidana ke penyelesaian secara damai melalui cara musyawarah mufakat antara pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) dengan korban. "Yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau tokoh masyarakat, polisi, jaksa atau hakim," katanya.
Ia juga menyebutkan proses "depenalisasi" yakni sanksi yang besifat pidana dihilangkan dari suatu perilaku atau perbuatan yang diancam sanksi pidana. "Dalam hal ini hanya kualifikasi sanksi pidana yang dihilangkan, sedangkan sifat melawan atau melanggar hukum masih tetap dipertahankan," katanya.
Artinya penyelesaian perkara tindak pidana melalui musyawarah mufakat tidak menghapuskan sifat melawan atau melanggar hukum, yang dihilangkan adalah sanksi yang bersifat pidana dengan adanya perdamaian pelaku telah lepas dari segala tuntutan hukum.
"Untuk memberikan suatu kepastian hukum, maka perdamaian yang terjadi disampaikan kepada penuntut umum untuk dimintakan penetapan kepada pengadilan negeri," katanya.
Fungsi penetapan hukum itu, kata dia, untuk menjamin adanya kepastian hukum, melindungi mantan pelaku dari oknum yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu, ia menyebutkan musyawarah mufakat tindak pidana itu perlu dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan RUU KUHAP.
"Dengan menambahkan ketentuan penyelesaian perkara tindak pidana melalui musyawarah mufakat," katanya. (*)
Berita Terkait
Kejagung tegaskan kasus Jessica Wongso sudah selesai
Rabu, 11 Oktober 2023 5:09 Wib
Kejagung RI periksa ajudan Jhonny G Plate terkait kasus Bakti Kominfo
Selasa, 30 Mei 2023 17:52 Wib
Penjelasan Kejagung soal alasan pengajuan banding perkara Ferdy Sambo dkk
Selasa, 21 Februari 2023 6:27 Wib
Vonis Bharada E, Kejagung mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat
Rabu, 15 Februari 2023 16:01 Wib
Belum tentukan sikap, Kejagung masih mempelajari putusan Ferdy Sambo dkk
Rabu, 15 Februari 2023 6:03 Wib
Kejagung periksa pejabat BSI terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO
Selasa, 14 Juni 2022 6:02 Wib
Mobil-mobil mewah dalam kasus Jiwasraya
Selasa, 21 Januari 2020 6:33 Wib
Kapuspenkum Kejagung Bangga Jadi Alumnus Fakultas Hukum Unitas Padang
Sabtu, 1 Juli 2017 21:20 Wib