Legislator: Perkawinan Bukan Hanya Sekadar Masalah Usia

id Perkawinan

Jakarta, (Antara) - Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah mengatakan yang perlu diperhitungkan dalam perkawinan bukan hanya sekadar usia laki-laki atau perempuan, tetapi kesiapan secara kepribadian dan mental.

"Saya melihat pada dasarnya bukan sekadar usia, melainkan model pengasuhan orang tua terhadap tumbuh kembang anak sehingga saat memasuki usia perkawinan sudah mayang secara kepribadian dan mental," kata Ledia Hanifa Amaliah dihubungi di Jakarta, Senin.

Karena itu, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan kesiapan untuk menikah bukan semata-mata dilihat dari usia secara fisik, tetapi juga kematangan kepribadian dan mental.

"Karena dua manusia yang menikah akan membangun sebuah keluarga yang menjadi cikal bakal masyarakat dan generasi masa depan," tuturnya.

Menurut Ledia, bila proses tumbuh kembang anak di Indonesia tidak didukung oleh pola pengasuhan yang baik di dalam keluarga, pendidikan yang baik di sekolah dan pengaruh yang baik dari media, maka bisa mendorong perilaku seks bebas di kalangan remaja.

Perilaku seks bebas di kalangan remaja, yang seringkali berujung pada kehamilan di luar nikah, pada akhirnya akan mendorong pernikahan di usia dini.

"Penyelesaian masalah ini harus tuntas, yaitu membangun sistem ketahanan keluarga yang melindungi segenap anggota keluarga untuk mengoptimalkan potensinya," katanya.

Ledia mengatakan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang masuk dalam Program Legislasi Nasional 2014-2019.

"Tentu penyelesaiannya harus ke arah penyelesaian sistem, bukan hanya merespon kasus tertentu," ujarnya.

Terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan untuk merevisi usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun pada Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, Ledia mengatakan tentu berdasarkan pertimbangan tertentu.

Menurut dia, memang ada perbedaan antara Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam menetapkan usia menikah.

"Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak batas usia perkawinan adalah 18 tahun dan orang tua atau pengasuh dilarang mendorong anak untuk menikah di bawah usia tersebut," jelasnya.

Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan untuk merevisi usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun pada Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, meskipun Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berbeda pendapat dengan menyetujui perubahan usia perkawinan perempuan menjadi 18 tahun.

Dalam amar putusannya, MK menolak merevisi Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan karena tidak ada ajaran agama yang menjelaskan batas usia minimal perkawinan. Persyaratan untuk kawin hanya calon mempelai sudah akil balig serta bisa membedakan baik dan buruk.

Sedangkan perbedaan dari Hakim Maria berdasarkan pendapat bahwa pemahaman tentang hak asasi manusia telah berubah dibandingkan saat Undang-Undang Perkawinan dibuat.

Apalagi, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Perlindungan Anak.

Ketua MK Arief Hidayat menyatakan tidak bisa menetapkan batas usia perkawinan menjadi 18 tahun. Menurut dia, perubahan itu lebih tepat dilakukan melalui "legislative review" atau revisi melalui DPR. (*)