Opini Kampus Sikapi Wacana Penghapusan Skripsi

id Opini, Kampus, Sikapi, Wacana, Penghapusan, Skripsi

Adalah Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) Muhammad Nasir yang mewacanakan penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa.

Kebijakan terkait maraknya ijazah palsu itu telah bergulir menjadi suatu opini yang pro dan kontra di kalangan pelaku perguruan tinggi, anggota DPRD, hingga orang awam.

Ada yang mendukung dan ada yang menolak, bahkan beberapa kali media cetak, elektronik maupun media dalam jaringan (daring) atau online menghiasi halaman beritanya dengan wacana tersebut.

Misalnya, Ranny Emilia yang seorang staf pengajar bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas (Unand) Padang.

Baginya, skripsi memang tepat menjadi pilihan bagi mahasiswa, bukan kewajiban, dengan catatan yang bersangkutan tidak memilih "masa depan" menjadi dosen atau ilmuwan.

"Ada baiknya skripsi menjadi pilihan, dengan catatan mahasiswa tersebut memilih evaluasi tugas akhirnya yang setara kompetensinya dengan skripsi tersebut," katanya

Ia menjelaskan skripsi pada dasarnya berfungsi untuk menilai penguasaan calon lulusan atas bidang ilmu yang ditekuni, terkait dengan bidang kajian, teori, metode, dan daya analisa.

Pada kenyataannya tidak semua mahasiswa berminat untuk menjadi ilmuwan semisal dosen atau peneliti.

"Bagi yang tidak berminat tersebut tentunya tidak adil bila dipaksa untuk menyelesaikan studi dengan skripsi," imbuhnya.

Meskipun begitu, katanya, bagi mahasiswa yang tidak mengambil skripsi tersebut telah ada memilih metode lain untuk menguji kompetensi keilmuwannya.

"Sebagai contoh di universitas Australia, program master diberi dua macam metode untuk menyelesaikan studinya," sebutnya yang mengaku lulusan magister di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri kangguru tersebut.

Kedua macam metode tersebut, katanya, yakni pembuatan mini karya tulis dan penelitian langsung.

Khusus untuk mahasiswa yang ingin mengambil profesi menjadi dosen sebagai pilihan, maka penelitian merupakan suatu kewajiban.

Sebab menjadi dosen mengharuskan mahasiswa tersebut melakukan penguasaan pada suatu bidang ilmu.

Ia mencontohkan pengalamannya saat mulai menentukan judul skripsi, maka mahasiswa harus memiliki idealisme dan kekuatan terhadap penelitiannya.

Kolokium, seminar, ujian, hingga pembuatan skripsi merupakan pondasi bagi keilmuwannya.

Sebaliknya, bagi mahasiswa yang tidak ingin menjadi dosen atau ilmuwan lainnya melakukan karya deskriptif menjadi pilihan lebih baik.

Walaupun demikian sebuah karya tersebut terjamin orisinalitasnya serta dapat dipertanggungjawabkan, ucapnya.

"Tidak ada masalah skripsi dihapuskan atau tidak untuk syarat kelulusan," katanya.

Lain Ranny Emilia, maka lain lagi dosen muda bidang Biologi Unand Putra Santoso. Ia tidak menyetujui jika akibat adanya ijazah palsu berdampak penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa.

Menurut dia, munculnya ijazah palsu itu bukan karena sistem semata, melainkan juga rendahnya pengawasan saat melakukan tugas akhir sehingga mahasiswa dengan mudah melakukan kecurangan.

"Tidak tepat upaya mengubah syarat kelulusan dengan menghilangkan skripsi, justru permasalahannya ada pada individu mahasiswa, perlu adanya pengawasan ekstra dari pembimbingnya," kata Putra yang mengaku sedang berlibur di Padang di sela kesibukan menuntut ilmu di negeri Sakura Jepang.

Menurut dia, pengawasan ekstra oleh pembimbing skripsi mahasiswa tersebut perlu dilakukan sejak awal menentukan judul karya penelitian.

Pengawasan ini meliputi pencegahan plagiarisme terhadap karya orang lain, baik itu berupa sedikit kutipan maupun secara keseluruhan teks.

Dalam hal ini, katanya, pembimbing melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan teliti terhadap setiap karya mahasiswanya, sehingga saat akan diujikan dalam seminar dan ujian kesamaan teks tersebut dapat lebih diminimalkan.

"Bahkan, di Jepang, setiap skripsi atau tesis harus masuk ke dalam perangkat lunak komputer pendeteksi plagiarisme," katanya mencontohkan.

Perangkat lunak ini nantinya memeriksa secara keseluruhan konten skripsi atau tesis dengan cara mencocokkannya dengan semua direktori dokumen karya ilmiah pada seluruh pangkalan data nasional.

Kemudian juga melakukan pemeriksaan dengan mengujikan keabsahannya pada direktori publikasi global atau artikel di berbagai jurnal internasional.

Setelah mengalami pemeriksaan tersebut, tingkat kesamaan tesis dengan dokumen lain tersebut sebesar-besarnya hanya 20 persen.

Artinya jika terdapat kesamaan lebih dari nilai tersebut, maka ujian skripsi atau tesis tidak dapat berlanjut, ujarnya.

"Kedua macam sistem tersebut dapat menjadi solusi yang tepat untuk menghindarkan mahasiswa melakukan flagiat atau skripsi palsu," katanya.

Harapan Mahasiswa

Bila akademisi saling serang menyerang dan pro kontra terhadap wacana kebijakan tersebut, justru pelakunya yakni mahasiswa mengharapkan agar skripsi tidak hilang dari syarat kelulusan.

"Skripsi merupakan hasil perjuangan menahun dari mahasiswa selama berkuliah, amat disayangkan bila itu dihapuskan dari syarat untuk lulus," kata mahasiswa Universitas Ekasakti Padang Hendri Dunan.

Menurut dia, upaya mencari judul kemudian mengolah hingga menampilkan skripsi dalam seminar merupakan pengalaman berharga bagi mahasiswa untuk kuliah.

Dengan kurikulum yang terstruktur setiap langkah demi langkah pembuatan skripsi tersebut telah memberikan kesan pada mahasiswa bahwa tidak mudah untuk menjadi sarjana.

Dalam hal ini skripsi bermanfaat sebagai produk nyata untuk menunjukkan kemampuan mahasiswa tersebut dalam menulis serta menyusun suatu karya yang berdasarkan ilmu yang dipelajari selama kuliah.

"Jadi bila suatu skripsi dihilangkan maka ilmu yang didapat selama kuliah tidak akan teraplikasi," kata mahasiswa yang mengambil konsentrasi Ilmu Komunikasi tersebut.

Untuk itu, dia berharap pemikirannya ini menjadi bahan pertimbangan Kemenristek-Dikti untuk tidak menghapuskan skripsi.

Senada dengan Hendri, mahasiswa Unand Ayu Lestari juga memiliki harapan yang sama.

Menurutnya skripsi merupakan tolok ukur kelulusan mahasiswa di perguruan tinggi.

Selain itu, skripsi secara kandungan ilmu lebih banyak memiliki referensi daripada sekedar laporan akhir saja, ucapnya.

"Bagi mahasiswa skripsi merupakan sesuatu hal yang prestisius dan menjadi kebanggan untuk meraih sarjana," imbuhnya.

Menurut dia, suka duka, perasaan lelah, sakit dan senang saat yang dialami seorang mahasiswa menyusun skripsi itu menjadi suatu kenangan yang dapat diingat di masa depan.

"Bila pemerintah menghilangkan itu, berarti telah menghilangkan perasaan tersebut pada mahasiswa," katanya.

Pada waktu yang berbeda, mahasiswa lain dari Universitas Negeri Padang Firman menilai kunci menjadi sarjana berada pada tugas akhir atau skripsi.

Menurut dia, semua ilmu yang telah dipelajari selama kuliah ada di dalamnya.

Sekalipun itu politeknik atau jurusan yang mengharuskan praktek, tetap saja skripsi masih dibutuhkan untuk kelulusannya, ujarnya.

"Kuliah hanya bagian dari persiapan untuk menyelesaikan skripsi.

Dalam kuliah menawarkan berbagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi mahasiswa memilih salah satunya untuk menjadi fokus kajian tugas akhir," katanya.

Terkait ijazah palsu, menurut mahasiswa Ilmu Keolahragaan semester akhir ini, tidak ada kaitannya dengan skripsi.

"Dahulu beberapa perguruan tinggi baru di daerah kecil, mahasiswa tanpa buat skripsi bisa mendapat ijazah. Sekarang apapun bisa dibeli pakai uang, ijazah sekalipun dapat dibeli," ucapnya.

Praktik itu, katanya, tidak akan bisa dihapuskan 100 persen, namun butuh pendekatan persuasif yang intensif untuk mewujudkannya.

Justru yang menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan adalah akar permasalahannya, pelaku yang melakukannya harus dihukum, bukan menghukum keseluruhan, termasuk yang tak bersalah.

"Butuh kajian dan analisis kuat bagi pemerintah untuk tidak atau akan menghapuskan skripsi sebagai syarat kelulusan," ujarnya.

Di sisi lain, anggota DPRD Sumbar juga mendukung keinginan para mahasiswa tersebut.

Menurut Ketua Komisi V bidang Kesejahteraan Masyarakat Mohklasin bahwa skripsi masih dibutuhkan di Indonesia karena sejauh ini sistem pembelajaran belum maksimal.

Saat ini, kata dia, yang perlu menjadi konsentrasi perbaikan Kemenristek-Dikti yakni sistem secara keseluruhan bukan hanya sebagian seperti penghapusan skripsi dari syarat kelulusan.

"Seharusnya pemerintah lebih jeli dalam mengantisipasi kasus bukan menghakimi sesuatu yang tak bersalah," ujarnya yang secara tegas menolak skripsi menjadi sebuah pilihan untuk tugas akhir.

Untuk itu, dia berharap Kemenristek Dikti melakukan pertimbangan yang dalam untuk melanjutkan wacana kebijakan yang mungkin akan merugikan banyak pihak tersebut. (*)