Pancasila Jangan Hanya Diingat Jelang 1 Juni

id kesaktian, pancasila

Ternyata dasar negara Pancasila yang begitu agung dan suci hanya banyak disebut- sebut menjelang peringatan kelahirannya pada setiap tanggal 1 Juni, terutama oleh para pejabat tinggi, politisi serta ilmuwan, sedangkan masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya melihat begitu banyak tindakan yang justru sangat bertentangan dengan kelima sila itu.

Karena itu tidak ada salahnya seluruh orang Indonesia --tanpa terkecuali-- untuk membaca dan merenungkan kembali pidato Bung Karno puluhan tahun lalu saat mulai melontarkan gagasan yang sangat mendasar menjelang lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila itu artinya asas atau dasar dan di atas dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi," demikian cuplikan pidato terkenal Soekarno atau Bung Karno pada 1 Juni 1945 tentang dasar negara Indonesia di depan sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan.

Bung Karno yang kemudian menjadi Proklamator bersama Bung Hatta pada 17 Agustus 1945 saat menyatakan berdirinya negara Republik Indonesia kemudian menyatakan" Saya telah mengemukakan 4 prinsip:

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Kalimat itu tercantum dalam sebuah buku berjudul Bung Karno PANCASILA DAN PERGERAKAN BANGSA yang dicetak Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI.

Kini bangsa Indonesia sedang memperingati hari lahirnya Pancasila yang ke-70 pada Juni 2015. Namun pertanyaannya adalah apakah bangsa ini sudah melaksanakan atau menerapkan kelima sila itu secara baik dan konsekuen seperti yang diinginkan para pendiri negara ini, yang kerennya sering disebut "the founding father"?.

Bung Karno adalah presiden pertama yang kemudian dilanjutkan oleh kepemimpinan Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga saat ini Joko Widodo yang lebih akrab dengan sapaan Jokowi. Karena bangsa ini sudah beberapa kali berganti kepemimpinan maka telah makin majukah atau makin sejahterakah masyarakat yang sesuai dengan Pancasila?

Sekalipun harus diakui sudah begitu banyak kemajuan yang dirasakan dalam berbagai segi kehidupan, tetap saja begitu banyak masalah yang sudah, sedang dan mungkin bakal terjadi pada hari- hari mendatang mulai dari korupsi, kolusi atau nepotisme.

Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, misalnya, dicopot dari jabatannya gara- gara ketika pada saat menjadi Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan alat simulator yang bernilai puluhan miliar rupiah.

Masyarakat tentu masih ingat pula pada Ratu Atut Chosiyah yang ketika menjadi gubernur Banten tidak saja melakukan korupsi tapi juga "menerapkan" sistem nepotisme dengan memberikan peluang kepada sanak keluarganya mulai dari suami, mertua, anak, menantu untuk menjadi pejabat di tingkat nasional, provinsi hingga mengerjakan berbagai proyek yang nilainya miliaran rupiah.

Sementara itu, di tingkat pusat, ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga dipecat dari jabatannya sebagai ketua lembaga negara karena diduga dan kemudian terbukti menerima sogokan dari peserta pemilihan kepala daerah alias pilkada. Bahkan yang tidak kalah mengejutkan adalah di kamar kerjanya di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat ditemukan bahan narkotika.

Pertanyaan yang sering muncul pada masyarakat adalah kenapa para pejabat itu termasuk segelintir anggota DPR-RI, DPRD, bupati hingga wali kota di banyak daerah juga tega "memakan" uang rakyat atau uang negara serta membiarkan suami, anak, menantu atau bahkan mertua menjadi "pejabat karbitan" atau mengerjakan proyek- proyek bernilai miliaran rupiah?

Para pejabat tinggi itu umumnya pernah belajar di Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas yang sebelumnya bernama Lembaga Pertahanan Nasional baik pada jenjang pendidikan kursus reguler atau kursus singkat. Di sana, mereka diajari tentang pola kepemimpinan yang tentu saja pasti bernuansa Pancasila. Tapi kenapa tetap saja ada pejabat yang melakukan KKN?

Pemimpin Pancasilais

Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri yang merupakan anak sulung Presiden Republik Indonesia yang pertama Soekarno baru-baru ini melontarkan pernyataan yang cukup menarik.

"Lemhanas merupakan kawah "candradimuka" calon pemimpin bangsa. Untuk itu, nilai-nilai Pancasila harus selalu ditekankan sehingga kelak para pemimpin tidak pernah melupakannya sebagai jati diri bangsa," kata Megawati dalam acara yang diberi nama "presidential lecture" di gedung Lemhanas, Kamis 928/5).

Karena itu, Megawati berharap agar para peserta kursus- kursus di Lemhanas itu tidak hanya sekadar mengejar ijazah atau sertifikat demi kenaikan jabatan serta pangkat tapi juga memahami dan menerapkan nilai-nilai sila dalam Pancasila itu.

Sementara itu, Gubernur Lemhanas Budi Susilo Soepandji mengakui bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa ini seolah-olah menjauh dari kehidupan masyarakat.

"Kita membutuhkan pemimpin- pemimpin yang Pancasilais yang mampu menerapkan nilai- nilai ideologi bangsa demi kesejahteraan rakyat," kata Gubernur Lemhanas Budi Susilo .

Dengan merenungkan pernyataan kedua pemimpin itu, maka nampak jelas bahwa ideologi negara Pancasila masih sering belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen tidak hanya oleh para pemimpin di tingkat nasional dan daerah tapi juga generasi muda. Apa buktinya?

Sekarang, begitu banyak anak muda yang sudah membiasakan diri menyalahgunakan narkotika mulai dari ganja, opium hingga shabu- shabu yang tidak hanya merugikan diri mereka sendiri tapi juga negara karena pemerintah harus ikut membiayai pemulihan kesehatan para pecandu narkoba ini. Setiap hari puluhan orang di Tanah Air mati dengan sia-sia gara- gara memanfaatkan secara salah berbagai jenis narkoba itu.

Karena itu pula, Presiden Joko Widodo tetap pada keputusannya untuk mengeksekusi mati belasan orang asing yang memasukkan narkoba seperti dari Australia.

Jika kini bangsa Indonesia sedang "hangat- hangatnya" memperingati hari lahirnya Pancasila sebagai ideologi bangsa, maka pertanyaannya adalah apa yang harus terhadap Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa dan negara ini? Apakah Pancasila cukup dirayakan pada setiap tanggal 1 Juni dan kemudian baru ramai- ramai diperbincangkan lagi pada sekitar bulan Mei tahun- tahun berikutnya ?

Tentu masyarakat sangat berharap agar Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla beserta para menteri anggota Kabinet Kerja untuk benar-benar memikirkan cara- cara nyata agar Pancasila tetap menjadi ideologi utuh bangsa ini dan bukan cuma disebut atau sekadar dirayakan menjelang pada tepat pada 1 Juni.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan juga Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus diberi tugas untuk melakukan pendidikan dan pengajaran Pancasila pada semua jenjang pendidikan sehingga generasi muda tetap menyadari bahwa Pancasila adalah memang sangat penting menjadi ideologi bangsa dan negara ini.

Kepada para pelajar dan mahasiswa harus ditekankan bahwa Pancasila itu bukan sekadar dijadikan bahan pelajaran hapalan tapi juga harus diterapkan dalam kehidupan sehari- hari secara konsekuen

Yang tidak kalah pentingnya adalah jika anak- anak muda ini sudah menjadi pemimpin pada jenjang apa pun juga harus ingat bahwa mereka harus mengabdi kepada rakyat dan bukannya memberikan kesempatan kepada suami, istri, anak, menantu untuk menjadi pejabat negara dan kemudian "mengeruk" uang dari APBN dan juga APBD demi menerapkan prinsip "hedonisme" atau mencari kenikmatan hidup sesaat.

Apabila KKN tetap saja berlangsung secara " aman dan damai" sedangkan Pancasila cuma dijadikan " bahan membual" pada setiap tanggal 1 Juni maka yang bakal terjadi adalah tinggal menunggu waktu hancur leburnya bangsa dan negara ini. (*)