Festival Ingkatkan Sejarah "Melayu Kopi Daun"

id Festival Ingkatkan Sejarah "Melayu Kopi Daun"

Festival original kopi kini jadi agenda rutin Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, yang tahun ini diselenggarakan pada 18 Maret 2015 diikuti enam daerah dengan menyuguhkan cita rasa khas.

Kegiatan ini seakan mengingatkan kepada masa mulanya komoditas ini muncul di daratan Ranah Minang.

Perkembangan tanaman kopi punya catatan sejarah tersendiri di Ranah Minang, namun belum tentu semua gerasi mengetahuinya. Tapi, bagi yang hidup dengan usia sudah setengah abad bisa saja sudah mendapatkan informasi tentang perkembangan perkopian di Sumatera Barat.

Dalam dokumen sejarah perkopian di Minangkabau (Baca Kamus Minangkabau, red) tertulis sekitar abad ke-18 masyarakat Minang hanya memanfaatkan daun kopi untuk minuman. Di zaman itu dikenal dengan sebutan "Melayu kopi daun".

Buktinya hingga sekarang masih dikenal dengan sebutan "Kawah Daun" yang dilafalkan menjadi "Kawa Daun". Tempat atau wadah/kawah minumnya juga khas dengan tempurung kelapa yang sudah dibersihkan. Kawah daun menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan ketika mengunjungi Sumbar.

Masyarakat yang suka dan pencinta kopi bisa mendapatkannya di kedai-kedai (warung, red) seperti di wilayah Tanah Datar, Bukittinggi, Agam dan Payakumbuh. Minum kopi kawah bila dilengkapi dengan goreng pisang panas, sembari santai dan ngobrol maka lengkaplah kenikmatan rasanya.

Kebiasaan masyarakat Minang memanfaatkan daun kopi, yang bagi penjajah Belanda menyebutnya "kopi kawa daun" waktu itu adalah "Melayu Kopi Daun". Kalimat singkat atau julukan yang diberikan penjajah pada abad 18 itu, sebagai bentuk merendahkan martabat rakyat Minang.

Di sinilah dapat dikatakan komoditas perkebunan yang satu ini punya nilai historis dalam perkembangan dan perdagangan di kawasan pantai barat Sumatera. Mulai dari asal bibit yang bibawa para haji dari Arab saat pulang dari Mekkah, maka ini pula biji kopi yang pertama kali dikenal di daerah ini dengan jenisnya "Arabica".

Di era kejayaan produksi komoditas ini sehingga yang menampungnya eksportir dari negara Paman Sam (Amerika Serikat). Perkembangan tanaman kopi di wilayah Sumbar mulanya di daerah Agam dan sekitarnya yang memiliki geografis yang cocok dengan jenis tanaman itu.

Mulanya dalam pola pengembangan kopi tidak ditanam dengan teratur, tapi dibiarkan tumbuh liar, baik di sekitar rumah (kopi pagar) atau di hutan-hutan (kopi hutan). Kopi mulai menjadi komoditas perdagangan sejak tahun 1890, yang para pembelinya eksportir Amerika Serikat.

Sejak itu kopi Minangkabau menjadi primadona ekspor daerah ini. Popularitas kopi dan keuntungan yang diperoleh dari perdagangannya membuat pemerintah Belanda memperkenalkan pula yang namanya "Tanam Paksa Kopi" pada tahun 1847 hingga 1908.

Agenda Tahunan

Kini sudah menjadi agenda tahunan bagi Pemerintah Sumatera Barat melalui Dinas Perkebunan festival original kopi di provinsi itu. Motif di balik kegiatan ini dapat ditangkap bagaimana menggelorakan kembali gerakan mengembangkan komoditas ekspor yang satu ini.

Selain itu, juga melengkapi wisata kuliner sebagai pilihan bagi wisatawan dari berbagai kota dan mancanegara yang berkunjung ke Sumbar. Kegiatan festival original kopi kembali digelar pada 2015. Pelaksanaannya di Gedung Sapta Marga Korem 032/Wirabraja Jalan Sudirman Padang, dibuka secara resmi oleh Gubernur Irwan Prayitno pada Rabu (18/3). Tampak sejumlah pejabat provinsi dan unsur pimpinan instansi vertikal mencicipi secangkir kopi pada acara pembukaan.

Menurut orang nomor satu di Pemprov Sumbar itu, festival original kopi dengan mendatangkan para penilai dari luar daerah dan ahli di bidangnya, jelas memberi manfaat. Jadi, bisa memberi dampak terhadap nilai tambah dan daya saing serta harga kopi dapat meningkat.

Irwan mengatakan, kualitas kopi yang ada di Sumbar cukup bagus, bahkan menurut para pecinta kopi, kopi asal sentra daerah ini merupakan salah satu yang memiliki cita rasa terbaik.

"Bukti kualitas baik, maka kopi yang ada di Sumbar sudah memiliki pasar sampai ke Jakarta, Yogyakarta, bahkan sampai ke luar negeri di antaranya Belanda, Australia dan Thailand, sehingga nantinya akan meningkatkan pendapatan bagi para petani kopi daerah," katanya.

Ke depan untuk pengembangan kopi khas Sumbar akan dilakukan pembinaan melalui Dinas Perkebunan terhadap kelompok tani yang memproduksi komoditas itu. "Upaya pembinaan diberikan masyarakat pengembang kopi bagi yang bergabung dalam kelompok tani, mulai dari tahap menanam, memelihara dan pascapanennya, sehingga ke depan akan menghasilkan produksi lebih berkualitas," janji gubernur.

Dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki dalam pengembangan tanaman kopi, seperti tersedianya lahan dengan ketinggian di atas 1.000 meter dari permukaan laut (mdpl) dan tingginya minat petani untuk mengembangkan kopi arabica, maka kopi tersebut dapat dijadikan primadona baru komoditas perkebunan di Sumbar.

Tanaman kopi juga memiliki keunggulan yaitu perawatannya tidak rumit dan dapat ditumpangsarikan dengan komoditas tanamanan pangan lain, sehingga meningkatkan perekonomian petani.

Kepala Dinas Perkebunan provinsi itu, sekaligus pihak penyelenggaran kegiatan tersebut Fajaruddin menyampaikan festival original kopi diikuti sebanyak 150 orang peserta.

Peserta berasal dari enam kabupaten di Sumbar, meliputi Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Limapuluh Kota.

Komoditas kopi merupakan salah satu andalan perekonomian nasional, terbukti Indonesia saat ini menempati peringkat terbesar di dunia dari segi hasil produksi di bawah negara Amerika Selatan, Brazil dan Columbia.

Kopi di Indonesia memiliki sejarah panjang, kata dia, juga memiliki peranan penting bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat. Indonesia diberkati dengan letak geografisnya yang sangat cocok difungsikan sebagai lahan perkebunan kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi tersebut.

Data Dinas Perkebunan Sumbar mencatat luas perkebunan kopi Arabica 20.754 hektare dengan produksi 15.670 ton/tahun tersebar di enam kabupaten yang menjadi peserta festival original 2015.

Kendati demikian, akankah pemerintah melalui instansi terkait mampu mengendalikan atau pengaturan tata niaga harga komoditas ini?. Salama ini yang banyak diuntungkan para tengkulak atau pedagang pengumpul, karena informasi perkembangan harga bagus kurang sampai ke masyarakat.***