Jaksa Tuntut Mantan Wakakorlantas Tujuh Tahun Penjara

id Jaksa Tuntut Mantan Wakakorlantas Tujuh Tahun Penjara

Jakarta, (Antara) - Jaksa penuntut umum KPK menuntut mantan Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Wakakorlantas) Polri Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo dituntut pidana selama tujuh tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan. Terdakwa terbukti memperkaya diri sebanyak Rp50 juta dari pengadaan "driving" simulator roda dua (R2) dan roda empat (R4) pada Korlantas Polri tahun anggaran 2011 yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp121,8 miliar, kata jaksa penuntut umum KPK Haerudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin. "Kami, jaksa penuntut umum menuntut supaya majelis hakim dalam pengadilan negeri jakarta Pusat yang memutuskan perkara ini menyatakan Brigjen Pol Didik Purnomo dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primer dan menjatuhkan pidana berupa penjara selama tujuh tahun dikurangi masa tahanan dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan," kata jaksa. Tuntutan tersebut berasal dari dakwaan primer yaitu pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Jaksa juga meminta agar hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Didik. "Ditambah pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp50 juta dan bila dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap terdakwa tidak dapat melunasi maka harta bendanya akan dilelang dan bila tidak mencukupi akan dipidana selama dua tahun penjara, dan ditambah pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam jabatan publik," tambah Haerudin. Terdapat sejumlah hal yang memberatkan terhadap Didik yaitu tindakan Didik dilakukan saat negara sedang giat-giatnya melakukan upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme; Didik merupakan aparat penegak hukum; serta perbuatan Didik menciderai aparat penegak hukum khususnya Polri. "Terdakwa berbelit-belit dalam persidangan, terdakwa tidak menyesal, terdakwa mengakibatkan kerugian negara yang besar, perbuatan terdakwa menyebabkan Polri tidak bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat terkait driving simulator uji klinik R2 dan R4, sedangkan hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan sopan di persidangan," ungkap jaksa Haerudin. Selain mendapatkan keuntungan sebesar Rp50 juta, pihak lain yang juga mendapatkan keuntungan dari perbuatan Didik adalah mantan Kakorlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo (Rp32 miliar), Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto (Rp93,38 miliar), Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo Sastronegoro Bambang (Rp3,93 miliar), anggota tim Inspektorat pengawas umum (Irwasum) Mabes Polri yaitu Wahyu Indra P (Rp500 juta) dan Gusti Ketut Gunawa (Rp50 juta); bagian keuangan Mabes Polri (Rp50 juta); Warsono Sugantoro alias Jumadi (Rp20 juta), Prima Koperasi Kepolisian (Primkoppol) Mabes Polri (Rp15 miliar) sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp121,83 miliar. Pengadaan simulator dimulai dari pertemuan Budi dan Sukotjo pada Agustus 2010 yang membahas pengadaan simulator R2 dan R4 yang anggarannya bersumber dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan kesepakatan Budi menyiapkan modal dan dana sedangkan Sukotjo menyiapkan tempat dan pegawai. Pada September 2010, Budi meminta Sukotjo ikut membantu staf Korlantas Ni Nyoman Suartini dan Wandy Rustiwan untuk membuat pengajuan anggaran Simulator yaitu 750 unit untuk R2 dengan harga per unit Rp80 juta dan 556 unit untuk R4 seharga Rp260 juta per unitnya sehingga total anggarannya adalah Rp144,56 miliar. Panitia pelaksana dipimpin oleh Teddy Rusmawan dengan anggota antara lain Ni Nyoman Suartini, dan pada Desember 2010 disepakati bahwa pengadaan Simulator tersebut dikerjakan Budi Susanto. Djoko Susilo dan Budi Susanto menyepakati bahwa Harga Perkiraan Sendiri (HPS) R2 adalah Rp79,93 juta dan R4 hanya Rp258,917 miliar. Artinya menurut jaksa terjadi penggelembungan harga (mark up) dengan tiga cara yaitu komponen dihitung dua kali, memasukkan komponen yang sebenarnya tidak digunakan dan menaikkan harga satuan masing-masing komponen. Setelah HPS disusun, Teddy menyerahkannya kepada Didik selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk ditandatangani padahal Didik tidak pernah melakukan penyusunan terhadap spesifikasi teknis dan HPS tersebut tapi Didik tetap menandatangani HPS R2 senilai Rp79,93 miliar dan R4 senilai Rp55,3 miliar dengan nilai total sebesar Rp143,448 miliar. "Terdakwa menandatangani spesifikasi padahal kenyataannya terdakwa tidak pernah membuat spesifikasi teknis," ungkap jaksa. Didik pun kemudian menerbitkan Surat Keputusan tentang penunjukkan PT CMMA sebagai pemenang lelang dan pelaksana pengadaan driving simulator uji klinik pengemudi R2 tahun anggaran 2011 dengan nilai kontrak Rp54,453 miliar sebanyak 700 unit dengan harga satuan Rp77,79 juta. Djoko Susilo selanjutnya pada 16 Maret 2011 menandatangani dokumen pengajuan pencairan anggaran untuk pembayaran pekerjaan pengadaan barang simulator R2 dengan nominal Rp48,76 miliar. Satu minggu setelah pencairan, Wahyudi selaku staf Budi Susanto datang ke kantor Korlantas menemui bendahara Kakorlantas Legimo dan menitipkan uang sekitar Rp30 miliar yang dibungkus dalam empat kardus. "Pemberian uang Rp48,76 miliar pada 17 Maret 2011 kepada PT CMMA tidak seharusnya karena PT CMMA tidak berhak menerima uang sejumlah tersebut karena pekerjaannya belum sepenuhnya selesai dan seharusnya PPK wajib meneliti apakah pekerjaan sudah selesai atau belum," jelas jaksa. Setelah pembayaran tersebut disetujui, pada 25 Maret 2011, Sukotjo datang ke Korlantas menuju ruangan Didik dengan Sukotjo menyerahkan kantong berisi kue brownis Amanda, Cheese Rol dan uang Rp50 juta. Didik kemudian menyetujui berita acara pengujian dan penerimaan materil (BAPPM) padahal kenyataannya pekerjaan belum selesai seluruhnya. Tim pemeriksa dan penerima barang pun tidak pernah melakukan pengecekan pada Maret 2011 dan baru dilakukan pengecekan pada September 2011 dengan hasil baru 426 unit R2 yang didistribusikan dan masih 274 unit yang masih dikerjakan padahal pekerjaan itu seharusnya diselesaikan paling lambat 28 Juli 2011. Budi masih menggelontorkan uang kepada tim Irwasum mabes Polri untuk memenangkan PT CMMA dalam pengadaan R4 yaitu pada 9 Maret 2011 sebesar Rp150 juta kepada Kompol Endah, pada 10 Maret Rp50 juta kepada Gusti Ketut Gunawa, dan pada 14 Maret sebesar Rp1,5 miliar. Kemudian Didik selaku PPK menandatangani SK tentang penunjukkan pemenang lelang pelaksanaan driving simulator R4 tahun 2011 dengan nilai kontrak Rp142,41 miliar. Pembayaran tersebut dicairkan pada 6 Desember 2011 dengan nilai sebesar Rp127,526 juta. Atas tuntutan tersebut, tim kuasa hukum Didik mengajukan waktu pembuatan nota pembelaan (pledoi) selama dua minggu. "Kami minta waktu dua minggu," kata pengacara Didik, Harry Ponto. Sidang pun dilanjutkan pada 30 Maret 2015. Terkait perkara ini, Djoko Susilo sedang menjalani hukuman penjara selama 18 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsidair 1 tahun kurungan berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung. Sedangkan Budi Susanto juga sudah divonis delapan tahun penjara dan denda Rp500 juta ditambah pidana uang pengganti sebesar Rp17,13 miliar. (*/jno)