Akademisi: Kesadaran Dokumentasi Sastra Perlu Ditingkatkan

id Akademisi: Kesadaran Dokumentasi Sastra Perlu Ditingkatkan

Jakarta, (Antara) - Pengajar Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Maman S. Mahayana mengatakan bangsa Indonesia perlu meningkatkan kesadaran dokumentasi sastra karena hal tersebut termasuk dalam upaya pemahaman dan pelestarian sejarah. "Bangsa ini sering lalai dalam pendokumentasian sastra yang kemudian menyebabkan tuna sejarah, sesat sejarah, manipulasi sejarah dan lain-lain," katanya dalam sebuah diskusi bertajuk Sastra dan Pustaka di FIB UI, Jakarta, Jumat (24/10). Tidak adanya kesadaran dokumentasi sastra, menurut Maman, juga menyebabkan problem jati diri bangsa dan pudarnya nasionalisme karena sejarah biasa ditentukan oleh siapa pemilik dokumen-dokumen. "Sehingga kita tidak bangga pada bangsa sendiri karena kita lupa mempelajari sejarah. Ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan. Buktinya kita belajar budaya dan sastra bangsa sendiri justru di Leiden," kata pengamat sastra yang selama empat tahun lebih menjadi dosen tamu di Universitas Hankuk, Korea Selatan, itu. Menurutnya, kelalaian dokumentasi sejarah merupakan problem yang menjangkiti bangsa Indonesia sejak lama, yang salah satu dampaknya adalah menyebabkan terjadinya "pembonsaian" peranan tokoh tertentu. "Peran seorang tokoh ulama misalnya yang dibonsai oleh Belanda menjadi hanya pada urusan doa, mengaji, dan masjid. Padahal sebenarnya lebih dari itu," kata Maman. Dia mencontohkan seperti besarnya peran Syekh Yusuf dari Sulawesi yang memiliki sumbangsih yang besar pada ilmu pengetahuan di Nusantara dan dunia. "Buku Syekh Yusuf al-Makassari menjadi salah satu karya yang wajib untuk dibaca di Masjid al-Haram. Kemudian Belanda merasa tidak suka dengan peran ulama dan kemudian membonsai peran ulama seperti Syekh Yusuf melalui karya sastra dan media massa," katanya. Dia menjelaskan bahwa pada periode tersebut, Belanda banyak menerbitkan karya sastra yang mengangungkan kaum penjajah dan mendiskreditkan kaum-kaum yang dibenci. "Karya-karya semacam itu tercermin pada buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di awal pembentukannya sekitar tahun 1908," katanya. Berdasarkan pemaparannya tersebut, Maman mengimbau kepada pemerintah untuk tidak melupakan segala hal terkait dengan upaya dokumentasi sastra. "Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin misalnya, kurang mendapatkan perhatian. Padahal perannya cukup penting untuk menjaga sejarah. Saya mencintai sastra Indonesia karena saya membaca sejarah," kata Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2003-2006 tersebut. (*/WIJ)