Bukittinggi (ANTARA) - Era Pandemi COVID-19 menyebabkan turunnya jumlah film yang diproduksi sineas tanah air secara drastis, hal itu menjadi salah satu pemicu bagi penikmat film untuk kian beralih ke platform digital, Lembaga Sensor Film (LSF) bekerjasama dengan Universitas Muhamdiyah (UM) Sumbar budayakan sensor mandiri sejak dini.


Hal itu disampaikan Ketua Komisi III Lembaga Sensor Film (LSF), Dr Naswardi saat memberi sambutan dalam sosialisasi Budaya Sensor Mandiri di Kampus UM Sumatra Barat, Bukittinggi, Kamis.


“Selama pandemi banyak pembatasan sehingga pada 2021, hanya 114 film produksi nasional yang tayang di berbagai platform, di luar kondisi pandemi ini biasanya dua kali lipat,” kata Naswardi.


Ia mengatakan penyebab salah satunya karena biaya produksi film lebih besar saat COVID-19 dengan tambahan biaya karantina bagi pemeran dan kru, uji swab, kepatuhan protokol kesehatan, serta penyesuaian dengan kebijakan pemerintah.


“Karena itu juga, tren orang menonton konten digital menjdi sangat membludak, sementara regulasi penyensoran untuk konten-konten itu masih belum mengakomodir sepenuhnya,” kata dia.


LSF, sambung Naswardi memiliki tugas dan wewenang melakukan penyensoran terhadap film dan iklan sebelum diedarkan kepada masyarakat.


“Karena tidak semua produk film itu tidak dapat difiltrasi, terutama di media baru seperti netflix, youtube dan sejenisnya, maka diperlukan budaya sensor mandiri,” imbuhnya. 


Dijelaskan, lebih lanjut sekitar 83.963 judul film disensor oleh LSF setiap tahun. Sementara, konten berbasis internet ini belum diatur secara spesifik dalam undang-undang, berbeda dengan konten di bioskop maupun televisi.


"Pemerintah saat ini masih melakukan pembahasan untuk menyiapkan regulasi yang bisa mengatur penyensoran terhadap konten tersebut. Sambil menunggu ini rampung, kami tidak berdiam diri. Maka kami ajak mahasiswa untuk jadi pionir penyensoran mandiri," ujarnya.


Di sisi lain, tingkat kepatuhan penyedia film digital untuk mengikuti tahapan sensor secara kumulatif hanya sekitar lima persen.


“Maka, karena rendahnya kepatuhan itu, kami mengajak penduduk Indonesia yang masuk kelompok rentan dengan populasi 83 juta jiwa untuk turut berpartisipasi,” katanya.


Menurut Naswardi, kelompok rentan itu didominasi oleh besarnya usia anak-anak di Indonesia. Padahal, banyak klasifikasi konten film yang tidak boleh ditonton anak-anak. Seperti pornografi, kekerasan, sara, ataupun pelecehan harkat martabat manusia.


Gerakan kolaborasi ini, kata Naswardi sejalan dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabbullah (ABS-SBK). Semua elemen masyarakat harus diberi kesadaran untuk melindungi anak kemenakan dari tontonan yang bermuatan konten tak pantas.


Pada kesempatan yang sama Rektor UM Sumbar, Dr Riki Saputra menyebut pihaknya berterimakasih kepada LSF yang telah menjadikan UM Sumbar satu dari 34 perguruan tinggi di Indonesia sebagai mitra kerja.


"Tema ini bersesuaian dengan Tridharma Perguruan Tinggi. Ini sangat cocok dengan kebutuhan dunia pendidikan hari ini," kata Riki.


Dijelaskan rektor termuda Sumbar itu, pada April 2021 lalu pihaknya mengawali kerjasama dengan LSF.


“Setelah diundang MoU, ini follow-up action berikutnya. Nilai inovatif adaptif yang diminta pemerintah kepada mahasiswa itu, salah satunya seperti kegiatan ini. Karena itu sosialisasi ini sangat tepat, mahasiswa harus berperan aktif melakukan penyensoran mandiri,” kata dia mengakhiri.


 

Pewarta : Al Fatah
Editor : Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2025