Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong petani rawa beralih ke varietas Inpara (inbrida padi rawa) karena produktivitas tinggi dan umurnya genjah sehingga setahun bisa tanam dua kali.

         Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Prof. Dedi Nursyamsi di Jakarta, Senin, mengatakan pembatas utama budidaya padi di lahan rawa adalah kemasaman tinggi yang menyebabkan konsentrasi besi sangat tinggi sehingga tanaman keracunan.

         "Genangan air juga sering tinggi dan lama sehingga tanaman busuk dan mati," katanya.

         Pihaknya telah menemukan fakta bahwa padi Inpara sudah terbukti tahan masam, tahan keracunan besi, dan tahan genangan.

         Oleh karena itu, Kementerian Pertanian akan memperluas penggunaan varietas padi Inpara untuk penanaman padi di lahan rawa.

         "Inpara merupakan padi unggul khas lahan rawa," katanya.

         Selama ini kata dia, sebagian besar petani rawa masih menanam varietas lokal seperti siam unus karena mudah dipelihara sayangnya input rendah.

         Tercatat rata-rata roduktivitas padi lokal hanya 2-ton/ha dengan umur panjang yaitu 7-9 bulan sehingga petani hanya tanam sekali setahun.

         "Sementara varietas seperti Ciherang, Mekongga, dan Inpari yang di sawah irigasi hasilnya tinggi, tetapi rendah hasilnya bila ditanam di lahan rawa," katanya.

         Salah satu petani anggota kelompok tani (poktan) Cinta Maju di rawa lebak di Desa Hamayung, Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Basran sudah membuktikan menanam padi inpara dan mampu panen 6,3 ton/ha GKG.

         "Dengan tanam Inpara keuntungan bertani saya semakin besar," kata Basran.

         Hal ini diamini oleh Darsono, anggota poktan Sido Muncul di rawa pasang surut, di Desa Karang Bunga, Kecamatan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala yang menyatakan Inpara membawa berkah kehidupan untuk keluarganya.

         Ia mampu menghasilkan padi Inpara sekitar 4.5 ton/ha dan dapat menanamnya dua kali dalam setahun.

         Peneliti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Ir Yantirina MS, mengatakan terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan setelah petani menanam Inpara.

         Varietas lokal dengan produktivitas 2 ton/ha dan IP 100 hanya menghasilkan Rp16-juta pada harga GKG Rp 8.000/kg.

         "Sementara itu, Inpara dengan produktivitas 6,3 ton/ha dan IP 200 mampu menghasilkan sekitar Rp57 juta bila harga GKG Rp 4.500/kg," tutur Yanti.

         Saat ini Inpara berkembang pesat di Kabupaten Batola, Propinsi Kalimantan Selatan.

         Yanti mengatakan permintaan benih Inpara dari petani Batola sangat tinggi.

         Ternyata ini terkait dengan jumlah transmigran asal Jawa yang jumlahnya banyak di Batola.

         Warga transmigran menyukai beras pulen dari Inpara sedangkan penduduk asli yang kebanyakan suku Banjar menyukai beras pera dari padi lokal. (*)

Pewarta : Hanni Sofia
Editor : Mukhlisun
Copyright © ANTARA 2024