Padang, (Antaranews Sumbar) - Kamis pagi wajah pria itu terlihat lesu di ruang tunggu salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kota Padang akibat kurang tidur.
Sudah tiga hari ia menemani putri kesayangannya menginap di rumah sakit karena harus dirawat setelah mengalami keracunan makanan.
Usai menyantap jajanan yang dibeli di luar sekolah tiba-tiba putri Suyanto mengalami mual, muntah dan pusing. Pihak sekolah pun membawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Alhasil dokter mendiagnosa keracunan makanan sehingga harus mendapatkan perawatan intensif.
Suyanto tidak sendiri karena ada ratusan korban lainnya yang juga mengalami keracunan makanan di Sumatera Barat. Berdasarkan data yang dihimpun dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Sumbar pada 2016 terjadi 13 kasus keracunan makanan dengan korban 548 orang, Sedangkan pada 2017 tak kurang dari lima kasus.
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan keracunan tidak hanya terjadi pada kalangan pelajar, namun juga masyarakat umum hingga narapida di penjara.
Mirisnya kasus keracunan makanan terus terjadi dan berulang dengan pemicu yang sama yaitu masalah higienitas pangan. Artinya salah satu persoalan penting untuk dituntaskan adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat untuk menyiapkan pangan yang aman.
Selain itu minimnya pengetahuan juga menjadi salah satu penyebab rentannya kasus keracunan makanan.
Tidak hanya rawan keracunan pangan, ancaman beredarnya produk ilegal juga membayangi Sumatera Barat karena daerah ini merupakan salah satu perlintasan yang cukup strategis.
Produk makanan ilegal yang ditemukan beredar oleh Balai Besar POM di Sumbar berupa makanan luar terutama dari Malaysia yang ditemukan tidak memiliki izin edar di Indonesia.
Jenis makanan yang beredar tersebut berupa makanan ringan seperti coklat,permen, makanan ringan , minuman serbuk dan kemasan hingga kosmetika.
Penggunaan kosmetika ilegal jelas merugikan masyarakat karena dapat menyebabkan kanker kulit, kerusakan ginjal, kerusakan hati, kanker dan kerusakan sistem syaraf.
Dari sejumlah temuan tersebut dirasa perlu ada regulasi yang lebih kuat agar masyarakat dapat terlindungi. Akan tetapi persoalan yang mengemuka adalah terjadinya tumpang tindih antara pemangku kepentingan terkait dalam mengatasi hal ini.
Aparat kepolisian, Kementerian Kesehatan, Bea dan Cukai hingga Dinas Kesehatan merupakan pemangku kepentingan yang berwenang melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pangan dan obat berbahaya.
Namun harus diakui masih terjadi tumpang tindih sehingga BPOM sulit bergerak leluasan untuk melindungi masyarakat.
Beruntungnya pemerintah saat ini tengah menyiapkan Undang-Undang pengawasan obat dan makanan sebagai payung hukum untuk memperkuat pera BPOM.
Lewat Undang-Undang tersebut diharapkan BPOM dapat bekerja lebih tangguh dan independen dalam melakukan pengawasan karena sudah punya payung hukum sendiri sehingga lebih bertaring dalam melakukan penindakan.
Tidak hanya itu jika selama ini BPOM hanya dapat melakukan penyitaan maka lewat regulasi baru tersebut diharapkan punya kewenangan yang lebih untuk menindak dan menghukumsehingga bisa memberikan efek jera kepada mereka yang nakal.
Undang-Undang pengawasan pangan juga diharapkan dapat memperkuat mutu obat dan makanan karena sejak awal sudah ada standar yang jelas sehingga produsen lebih berhati-hati saat proses produksi.
Yang paling penting dari semua poin tersebut adalah bagaimana BPOM bisa bersinergi dengan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan karena skala yang diawasi teramat luas.
Kemudian lewat undang-undang tersebut pemberantasan penyalahgunaan obat dan makanan dapat lebih maksimal karena BPOM memiliki kewenangan melakukan upaya paksa.
Terakhir tentunya umat Islam akan lebih tenang dalam mengonsumsi produk makanan dan obat-obatan karena sudah jelasnya status kehalalannya.
Dari sejumlah pemaparan diatas Undang-undang Pengawasan Pangan menjadi mutlak dan mendesak direalisasikan agar peran BPOM lebih maksimal dalam melindungi masyarakat dari pangan dan obat berbahaya.