Mikoina Diharapkan Mendukung "Green Economy"

id Mikoina Diharapkan Mendukung "Green Economy"

Bogor, (ANTARA) - Deputi Kemenristek Bidang Pendayaan Ilmu dan Teknologi Doktor Idwan Suhadi mengharapkan keberadaan Perhimpunan Mikologi Indonesia (Mikoina) dapat mendukung "green economy". "Saya berharap keberadaan Mikoina dapat membantu pembentukan 'roadmap' (peta jalan) penelitian dan peraturan terkait dengan mikologi yang nantinya mendukung 'ekonomi hijau' itu," katanya seperti dilansir Kantor Humas Institut Pertanian Bogor, Minggu. Mikoina adalah wadah profesi bagi ahli cendawan, yang baru lahir empat bulan lalu. Idwan Suhadi menyambut hangat hadirnya Mikoina yang akan memberikan kontribusi nyata di tengah masyarakat. Ia merujuk dalam sidang kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengelompokkan berbagai komunitas, yakni politik dan bisnis yang masing-masing mempunyai kepentingan. "Khusus komunitas sains, Presiden sangat menghargai keberadaannya karena sering kali memberikan masukan berharga dalam berbagai kebijakan pemerintahan," katanya. Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor Prof. Herry Suhardiyanto mengemukakan bahwa cendawan dibutuhkan dalam sistem pertanian berkelanjutan sebagai agen pengendali hayati dan pupuk hayati. "Di samping menimbulkan dampak negatif, cendawan juga mempunyai banyak manfaat," katanya. Ia menjelaskan bahwa pada suku-suku di Indonesia telah lama menggunakan cendawan sebagai bagian kuliner lokal, seperti untuk membuat tape, tempe, oncom, gatot, kecap, dan jamur pangan. Untuk itu, kata dia, pihaknya menyambut baik peluncuran Perhimpunan Mikologi Indonesia (Mikoina). "Mikroina sudah selayaknya berpartisipasi, mendorong dan memanfaatkan situasi ilmiah yang sedang berkembang dalam masyarakat," katanya. Ia menambahkan, pada pertengah September 2012, pihaknya ikut menggagas peluncuran dan seminar nasional Mikoina bertema "Mykes Pro Vita" Rektor mengatakan bahwa cendawan memegang peranan penting dalam kehidupan bumi. Dengan adanya ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati oleh pemerintah Indonesia, kata dia, sudah seharusnya para mikologiwan memberikan perhatian penuh terhadap data kekayaan cendawan. "Indonesia sebagai 'megabiodiversity hotspot' belum mempunyai data kekayaan cendawan. Padahal dengan berkurangnya luasan hutan tropik dan terganggunya ekosistem laut banyak jenis cendawan tropik yang lenyap," katanya. Untuk itu, kata dia, Mikoina dapat menjadi kekuatan pendorong terbentuknya bank biakan cendawan "indigenous" Indonesia yang dilengkapi basis data pendukungnya. Apalagi, kata dia, cendawan merupakan organisme yang menjadi perhatian dalam kerangka "biosafety" protokol Cartagena. (*/wij)