Mahasiswa Indonesia simulasikan karya tentang kelapa sawit di Swiss

id kelapa sawit

Mahasiswa Indonesia simulasikan karya tentang kelapa sawit di Swiss

Perkebunan kelapa sawit. (Antara)

Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Simulasi tentang sawit karya mahasiswa Indonesia dikenalkan di Swiss menyusul isu kelapa sawit di Eropa kerap dikampanyekan negatif dari segi lingkungan dan kesehatan sementara Indonesia mendekati isu kelapa sawit dari sisi nondiskriminasi perdagangan dan upaya pengentasan kemiskinan.

Untuk itu, isu sawit di Eropa perlu mendapatkan pendekatan segar dan kreatif, yang salah satunya melalui permainan simulasi perkebunan sawit yang dikenalkan pada rangkaian Latsis symposium 2018 "Scaling-up Forest Restoration" di Swiss Federal Institute of Technologyq (ETH) Zurich dari tanggal 6 hingga 9 Juni.

Pensosbud KBRI Bern, Sasanti kepada Antara, Senin menyebutkan permainan/games simulasi sawit yang diciptakan Nur Hasanah, mahasiswi doktor asal Indonesia di ETH Zurich, dapat dimainkan empat

orang.

Setiap pemain memainkan peran sebagai petani dengan sejumlah lahan an dikejar target setiap ronde mengumpulkan bahan pangan. Di sisi lain, terdapat pula yang memainkan peran sebagai perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan besar dan sumber daya melimpah, pasar yang menetapkan naik turunnya harga komoditas, juga peran pemerintah dan LSM.

Games yang dimainkan mirip permainan monopoli ini dipandu seorang games master mengendalikan laju permainan, menetapkan waktu, dan memberikan pengumuman penting setiap ronde.

Dubes RI untuk Swiss, Muliaman Hadad, yang hadir pada peluncuran games simulasi menyampaikan dukungannya games simulasi ini dapat memberikan pemahaman holistik dalam mendekati isu kelapa sawit ini.

"Isu sawit ini bukan hanya isu perang dagang, tetapi juga isu kemanusiaan karena sebanyak 5,7 juta orang, dengan 2,2 juta di antaranya petani rakyat skala kecil, menggantungkan hidupnya dari sawit," kata Dubes Muliaman Hadad.

Games ini diharapkan mampu membuka mata, bahkan mengubah pandangan orang Eropa tentang isu sawit dari perspektif kemanusiaan dan pengentasan kemiskinan, ujar Dubes.

Pada awal games, para pemain yang bertindak sebagai petani dibekali dengan sejumlah lahan, warga, dan uang untuk menjalankan permainan dengan target yang ditetapkan setiap rondenya. Games yang dimainkan sekitar satu jam ini dapat berakhir dengan kondisi pemain yang berbeda-beda, antara lain petani kaya raya, petani bangkrut, atau kerusakan alam karena eksploitasi yang berlebihan. Para pemain diberikan kebebasan untuk membentuk kesepakatan sesama petani dan melakukan negosiasi dengan perusahaan sawit.

"Pada dasarnya games ini adalah games strategi dan survivor," ujar Nur Hasanah sang pencipta games.

"Bagaimana setiap pemain dituntut untuk mengatur strategi bertahan hidup dengan sumber daya yang terbatas, tetapi perlu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup di tengah tantangan yang bertubi-tubi".

Nur Hasanah yang mengaku membutuhkan sekitar empat bulan menciptakan games ini. Games simulasi ini merupakan bagian dari penelitian doktor di salah satu universitas terbaik di dunia, ETH Zurich, tentang perkebunan sawit di Indonesia.

Tercerahkan

Salah seorang pemain asal Lituania, Gabiya mengaku lebih tercerahkan tentang isu sawit di negara asalnya, yaitu Indonesia.

"Saya tidak membayangkan bagaimana sulitnya para petani sawit skala kecil bisa bertahan hidup dengan segala tantangan yang ada," ujarnya yang datang ke Swiss karena mengikuti Latsis Symposium di ETH Zurich.

Sedangkan pemain games yang juga mahasiswa doktor ETH asal Prancis, Clara mengutarakan pentingnya kerja sama antara pengusaha sawit dengan para petani skala kecil untuk keberlanjutan lingkungan hidup.

"Saya menjadi lebih paham, mengapa Pemerintah Indonesia menempatkan sawit sebagai prioritas, karena di antaranya membela para petani skala kecil ini," kata Clara.

Sawit merupakan isu strategis bagi Indonesia karena sektor ini memberikan sumbangan besar bagi perekonomian nasional melalui peningkatan nilai tambah, kinerja nilai ekspor, penyerapan tenaga kerja, pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan kontribusi penerimaan negara.

Namun demikian, pada Januari 2018, Parlemen Eropa telah menyetujui penghentian penggunaan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan pada 2021. Meskipun bukan merupakan anggota Uni Eropa (UE), Swiss yang merupakan motor European Free Trade Association (EFTA) beroperasi secara paralel dengan UE dan juga terlibat pada European single market.

Berdasarkan data dari Swiss Federal Custom Administration, total nilai perdagangan sawit Indonesia ke Swiss pada tahun 2016 mencapai nilai total 957 ribu dolar AS dan pada tahun 2017 menurun menjadi 433 ribu dolar.

Secara bilateral, Swiss mengadopsi pendekatan positif terhadap komoditas kelapa sawit dari Indonesia melalu kerja sama pembangunan dan pembinaan bagi para petani di negara produsen, meskipun tidak sedikit LSM Swiss menolak sawit atas alasan lingkungan hidup dan kesehatan. (*)