Pakar: Hakim Praperadilan Setya Novanto Lampaui Kewenangan

id Setya Novanto

Pakar: Hakim Praperadilan Setya Novanto Lampaui Kewenangan

Setya Novanto. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Padang, (Antara Sumbar) - Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprata, MH menilai hakim yang menangani gugatan praperadilan tersangka korupsi KTP-E Setya Novanto telah melampaui kewenangan dengan mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

"Dalam putusannya hakim yang menangani gugatan praperadilan Novanto minta penyidikan dihentikan, ini merupakan perbuatan melawan hukum karena konteksnya telah melampaui kewenangannya," kata dia di Padang, Senin (20/11).

Ia menyampaikan hal itu pada diskusi publik eksaminasi putusan praperadilan status tersangka Setya Novanto yang digelar oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang.

Menurut Gandjar, dalam gugatan praperadilan tersebut hakim juga tidak berwenang menguji validitas alat bukti penetapan Novanto sebagai tersangka.

"Bahwa alat bukti itu bisa menunjukan seseorang melakukan suatu tindakan pidana atau tidak, itu merupakan materi pokok perkara," katanya.

Ia mengatakan yang penting dilakukan adalah ketika penyidik menyampaikan punya alat bukti keterangan saksi maka penyidik punya bukti meminta keterangan seseorang sebagai saksi.

"Seandainya penyidik punya alat bukti berupa surat maka cukup dibuktikan dengan pernah melakukan pemeriksaan atau penggeledahan dan menyita," ujarnya.

Kemudian dia juga mengkritik pandangan hakim yang menyatakan alat bukti untuk suatu perkara tidak boleh digunakan untuk membuktikan perkara lain lagi.

"Sikap hakim yang menyatakan alat bukti tidak boleh digunakan untuk perkara lain merupakan kesesatan berpikir karena hukum acara bersifat logis sistematis," ujarnya.

Ia menyatakan, suatu alat bukti dapat digunakan untuk kasus yang lain sepanjang berasal dari Sprindik yang sama.

Pada sisi lain, dia juga mengkritik pendapat hakim yang menyatakan penetapan tersangka harus dilakukan pada akhir penyidikan karena tidak satu pun manusia yang tahu kapan penyidikan akan berakhir.

"Kalau tersangka telah ditemukan dan ditetapkan pada umumnya penyidikan akan berakhir karena tujuan penyidikan adalah menemukan tersangka, oleh sebab itu penetapan tersangka tidak mesti diakhir karena tidak ada periodesasi penyidikan mana yang awal, tengah dan akhir," kata dia.

Selanjutnya, dia juga menilai hakim menggunakan terminologi yang unik dalam gugatan ini yaitu calon tersangka padahal dalam proses hukum pidana tidak dikenal istilah itu.

"Kalaupun penyidik mampu membayangkan seseorang berpotensi jadi tersangka, tetap tidak boleh disebut sebagai calon tersangka karena terjadi kesesatan berpikir seakan-akan seseorang ditargetkan jadi tersangka dan ini bertentangan dengan prinsip independensi penyidik," ujar dia.

Dekan Fakultas Hukum Unand Prof Zainul Daulay mengatakan, eksaminasi ini merupakan upaya untuk menguji putusan secara akademis.

Sebelumnya pada 29 September 2017 hakim tunggal praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto dituangkan dalam putusan no 97/Pid.Prap/2017?PN.Jkt.Sel.

Setya Novanto mengajukan praperadikan atas penetapan sebagai tersangka oleh KPK karena menurutnya tidak didukung oleh alat bukti yang sah. (*)