Di Sumbar, Belum ada Aliran Penghayat Kepercayaan

id e-KTP

Di Sumbar, Belum ada Aliran Penghayat Kepercayaan

(FOTO ANTARA/Rahmad)

Padang, (Antara Sumbar) - Pemerintah Provinsi Sumbar, memastikan tidak ada masyarakat penganut aliran penghayat kepercayaan yang terdata di daerah itu.

"Sampai sekarang tidak ada terdata aliran itu berkembang di Sumbar," kata Kepala Kesbangpol Sumbar, Nazwir di Padang, Kamis (9/11).

Ia menyebutkan itu terkait keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan kedudukan yang sama pada penganut aliran penghayat kepercayaan dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

Meski hingga saat ini belum memiliki data, tetapi Nazwir menduga, aliran itu kemungkinan ada di Kepulauan Mentawai. Karena di daerah ini memiliki kearifan lokal tersendiri.

Tetapi selama ini mereka tidak pernah memunculkan diri dalam identitas penghayat kepercayaan.

"Kalau Mentawai, ada ciri-cirinya, namun tidak memunculkan identitas. Pada umumnya sudah menganut agama yang selama ini diakui, seperti Nasrani dan Islam," ujarnya.

Mungkin saja, setelah adanya putusan MK, para penghayat kepercayaan di Mentawai memutuskan untuk memunculkan diri. Tetapi bisa juga tetap menjalani kehidupan sesuai dengan yang mereka pahami sekarang.

"Jika nanti mereka memutuskan untuk memunculkan keberadaannya, maka sesuai putusan MK, kita harus menghormatinya," tambahnya.

Sebelumnya, MK memberikan angin segar kepada warga Penghayat Kepercayaan. Para Penghayat Kepercayaan diakui dan bisa ditulis di kolom agama yang terdapat di KTP.

Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah, dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat.

Selain itu, MK memutuskan pasal 61 Ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.

Hal tersebut diperlukan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam. (*)