Festival Internasional Budaya Minangkabau 2018 Jadi Unggulan Program Provinsi

id taufik

Festival Internasional Budaya Minangkabau 2018 Jadi Unggulan Program Provinsi

Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Taufik Effendi. (ANTARA SUMBAR/Miko Elfisha)

Padang, (Antara Sumbar) - Pemerintah Provinsi Sumbar, berencana menggelar festival budaya berskala internasional dengan tajuk The International Festival of Minangkabau (TIFoM) pada 2018 berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Ekonomi Kreatif.

"Ini merupakan salah satu program unggulan bidang budaya pada 2018," kata Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Taufik Effendi dihubungi dari Padang, Rabu.

Acara itu, menurutnya akan dikemas secara profesional dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kompetensi mulai dari pencarian tema hingga menentukan kelompok seni dan budaya yang berpartisipasi oleh kurator.

Seniman dan budayawan Sumbar juga akan dilibatkan secara aktif, sementara pemerintah akan mengambil peran sebagai fasilitator.

Hal itu untuk menghindari stigma festival "plat merah", istilah yang dimunculkan sejumlah seniman dan budayawan setempat terhadap kegiatan budaya yang hampir seluruh prosesnya dimonopoli oleh pemerintah.

TIFoM tersebut sekaligus menjadi "reinkarnasi" dari Pekan Budaya Sumbar yang terhenti pada 2014 karena terjebak dalam "festival saremonial".

Budayawan Sumbar, Nasrul Azwar menyambut baik ide dan gagasan pelaksanaan TIFoM pada 2018 tersebut. Namun untuk implementasinya ia masih meragukannya karena beberapa alasan.

Pertama, menurut dia gagasan tersebut tidak pernah dibentangkan dan mengikutsertakan partisipasi pemikiran masyarakat, terutama budayawan, akademisi humaniora, seniman, dan aktivis budaya.

"Keterlibatan" masyarakat seni baru dimulai saat proposal sudah masuk ke Dirjen Kebudayaan setelah selesai dibuat dengan Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dengan digelarnya Focus Group Discussion (FGD).

Dari 100 komunitas seni yang didaftarkan pada Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, hanya sekitar 30 komunitas yang diundang, didominasi komunitas seni Minangkabau. Tak ada komunitas dari Nias, Mentawai, India, China, Jawa, Sunda, yang terus menerus merawat budaya dan tradisi di Ranah Minang.

"Bagi saya, hal ini sudah menunjukkan even ini tidak berangkat dari pemikiran yang mendalam. Dibuat dengan sangat tergesa-gesa, dan selanjutnya akan berdampak pada kualitas even ini jika digelar nanti," kata dia.

Kedua menurut Nasrul even ini berangkat dari pemikiran orang "atas " bukan dari "bawah". Semestinya, Dinas Kebudayaan membaca dengan baik kehidupan kebudayaan, seni, adat, dan peradaban itu dari tingkat nagari-nagari di Sumbar.

Peristiwa budaya semestinya dimulai dari tingkat nagari ini, bukan dari atas yang mengejar keramaiannya ketimbang substansinya.

"Jika Dinas Kebudayaan dan Dirjen Kebudayaan untuk TIFoM ini mengejar ramainya masyarakat menonton untuk ukuran kesuksesan, saya pikir institusi ini sudah salah urus," ujarnya.

Ketiga, jika pun kelak TIFoM 2018 ini direalisasikan, jangan digelar di Kota Padang saja. Sumbar itu bukan Padang. Bagi ke daerah-daerah yang dinilai layak menggelar. Ini soal teknis.

Keempat, untuk proses keikutsertaan yang akan mengisi TIFoM harus melewati kurator yang objektif dan jelas kriterianya, objektif, dan hasilnya kurasinya harus dipublikasikan kepada publik sebagai bentuk pertanggung jawaban.

"Kuratornya harus memilih kelompok atau komunitas seni yang benar-benar tepat, dan dilarang memilih kelompok atau komunitasnya sendiri," kata dia. (*)