Menilik Harmonisasi Pelaksanaan K-13 Tingkat Sekolah Dasar

id #Kurikulum 2013 #K-13

Menilik Harmonisasi Pelaksanaan K-13 Tingkat Sekolah Dasar

Anak bermain di halaman sekolah. (cc)

Padang (Antara Sumbar) Sesuatu yang baru selalu mengundang banyak perhatian dan menjadi bahan sorotan, bahkan memunculkan multi tafsir di ruang publik. Apalagi berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam program pembangunan, termasuk bidang pendidikan.

Terkadang kebijakan baru yang dikeluarkan belum diketahui secara utuh arah utamanya, dan apalagi memahami substansinya. Namun perang urat syaraf sudah terjadi baik kalangan pemerhati, pengamat dan politisi serta praktisi dalam kerangka persepsi masing-masing.

Salah satu contoh, ketika ada kebijakan penyempurnaan kurikulum pendidikan, seperti terbitnya Permendikbud No. 81A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013.

Kebijakan Kemendikbud RI ingin menerapkan Kurikulum 2013 (K-13) atau Kurtilas tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah.

Pro-kontra (menyambut positif dan ada tanggapan negatif) muncul mengisi ruang publik, terkadang seolah-olah K-13 belum masanya atau waktunya diterapkan dengan banyak argumentais. Bahkan ada yang menilai

suatu yang mengkhawatir.

Malah ada pula persepsi bahwa Kurtilas (K-13) seakan-akan bisa membelenggu dan membuat murid dihadapkan kesulitan dalam menjalankan proses belajar mengajar dengan metode atau kurikulum yang baru tersebut.

Sisi lain kritikan yang terjadi suatu hal wajar pula sebagai langkah untuk penyempurnaan poin-poin penting dalam implementasi K-13. Sebab sudah sejak lama dunia pendidikan di Indonesia terpaut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sehingga saat hadir yang baru, tentu dapat dimaklumi memunculkan kecanggunan.

Penerapan K-13 sejak pada tahun ajaran 2013/2014 secara terbatas, tidak pula ada kendala yang berarti, seperti di Kota Padang berdasarkan data Dinas Pendidikan setempat sedikitnya sampai pertengahan 2016, sudah tercatat sebanyak 23 sekolah pada tingkat SD yang melakukan penerapan K-13.

Jumlah itu, terdiri atas sekolah negeri dan swasta. Pada SD swasta tercatat sebanyak 14 sekolah dan pada SD Negeri terdapat 9 sekolah. Sedangkan secara keseluruhan dari SD, SLTP dan SLTA sudah sekitar 25 persen sekolah yang mengimplementasi K-13.

Sementara itu, bila dilihat pada data peningkatan kompetensi guru dalam menghadapi implementasi K-13 di Sumatera Barat, lebih kurang 5.000 tenaga pengajar telah mendapatkan pelatihan dan bimbingan teknis.

Salah satu SDN yang telah menerapkan K-13 di Kota Padang sejak tahun ajaran 2014/2015, yakni SDN 44 Kelumbuk, Kecamatan Kuranji, Kota Padang pada kelas I dan Kelas IV.

Dilanjutkan pelaksanaan pada tahun ajaran 2016/2017, kata Kepala Sekolah SDN 44 Kelumbuk Darwalis, SPd yang diamini tenaga pengajar K-13 di sekolah tersebut, Eka dan Septiana ketika ditemui pada awal Oktober 2017.

Menurut Septiana, penerapan K-13 lebih membuka aspek kognitif dan psikomotor anak didik. Khusus kelas 1 SD mereka belajar sambil bermain sehingga dapat melihat aspek kemampuan yang dimiliki anak didik.

Artinya sangat efektif dan luwes pola pembelajaran K-13, karena dapat memacu kreatifitas anak didik. Selain itu, anak-anak juga lebih aktif dalam proses belajar ketimbang dengan kurkulum sebelumnya.

Dalam penerapan K-13, pembelajarannya menggunakan tematik integratif adalah menggabungkan beberapa mata pelajaran pada satu tema, sedangkan pendekatan saintifik adalah pola pendekatan melalui menanya, mencoba, menalar.

Sedangkan penilaian autentik merupakan yang mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil.

Kendati demikian, kata dia, guna kelancaran dalam penerapan K-13 tenaga pengajar memang harus pandai pemanfaatan dan menguasai teknologi informasi atau IT.

Selain itu, dalam penerapan K-13 terjadi berjalannya ekosistem pendidikan (guru, murid dan orangtua), karena mengharuskan keterlibatan orangtua ikut mendukung dan membantu penyelesaian tugas-tugas anak di rumah.

Sebab, guru di sekolah dalan K-13 ini hanya sebagai fasilitator perannya bagi murid, dan pengembangan lebih banyak dari anak didik dan harus mendapatkan perhatian dari orangtua saat dilingkungan keluarga.

Dalam penerapan kurikulum ini tidak ada penilaian atau klaim yang menilai ada anak yang bodoh. Sebenarnya setiap anak didik punya kemampuan yang berbeda-beda satu sama lain, ujarnya.

Menyinggung kendala selama pelaksanaan, ia menuturkan, tidak ada hambatan yang berarti, apalagi seperti anggapan sebagian pihak laksana penjara yang menakutkan seperti diperdebatkan tersebut.

Terkait dalam K-13 sudah indikator penilai yang jelas, jadi tak ada yang menyulitkan bagi guru selama sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan serta punya kemampuan menggunakan IT.

Hanya saja, kata dia, hingga kini hasil revisi K-13 yang baru untuk tenaga pengajar belum diterima, sedangkan untuk murid sudah menerapkan hasil revisi yang baru.

"Kami berharap hasil revisi atau perubahan terhadap pembelajaran K-13 bisa datang serepak ke sekolah-sekolah yang menerapkan. Sebagian sekolah sudah ada yang menerima hasil revisi tersebut," ujar perempuan yang sudah tiga kali mendapatkan pembekalan tentang K-13 itu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Muhadjir Effendy ketika berkunjung ke Padang, Sumatera Barat beberapa waktu lalu menegas beberapa poin evaluasi dan penambahan pada kurikulum 2013

tersebut perlu dilakukan, untuk kemajuan pendidikan.

Menurut dia, yang lebih penting adalah kreatifitas para guru dan keprofesionalan dalam menjalankan profesinya.

"Kurikulum memang menjadi acuan, namun yang lebih penting dari semua itu adalah keprofesionalan guru dalam mendidik para muridnya. Sebagus apapun kurikulum jika profesionalisme tidak ada, maka tak ada

gunanya," jelasnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, para guru harus terus memacu diri dan memahami pentingnya profesi yang sedang dijalani. "Dalam pandangan saya guru adalah profesi induk dari berbagai macam profesi yang ada. Karena tidak ada profesi lain yang lepas dari peran seorang guru," ujarnya.

Perbaikan kurikulum ini mengacu pada satu tujuan utama, yaitu untuk meningkatkan mutu ekosistem pendidikan Indonesia agar anak-anak sebagai manusia utama penentu masa depan Negara.

Dengan harapan dapat menjadi insan bangsa yang, (1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, (2) menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (3) cakap dan kreatif dalam bekerja.

Harmonisasi Sentra Pendidikan

Suatu senja seorang bocah yang duduk dibangku kelas IV Sekolah Dasar (SD) Negeri 44 Kelumbuk, Kuranji Padang, Muhammad Raziq Yasir yang tinggal bersama orangtuanya di Perumahan Tarok Indah Permai II.

Raziq sapaan bocah ini bagi anggota keluarga dan teman-temannya, ba'dah magrib membuat tugas rumah yang mempedomani panduan buku tematik. Tugas rumah yang dikerjakan tersebut, berkaitan dengan keragaman suku dan sistem pergaulan sesama sebagai warga negara Republik Indonesia.

Tidak sampai disitu saja, juga dalam buku tematik membahas tentang energi, baik macam-macam energi, soal ketersediaan, pemeliharaan, dan energi alternatif dengan potensi yang dimiliki.

Ketika ada bagian yang belum dimengerti, Raziq minta bantu ibu dan kakaknya yang sudah duduk di SLTP untuk menunjukan dan mengarahkan.

"Kalau belum mengerti, sering minta mama atau kakak yang memberi tahu. Tapi kalau yang berkaitan dengan aktivitas keseharian di lingkungan keluarga, seperti bagaimana berhemat listrik, hemat air dan apa fungsi setrika, ya...jawab sendiri," tuturnya.

Bocah lincah itu, mengakui ketika ditanya bagaimana belajar Tematik dan ia menjawab lebih senang karena tidak banyak menghafal dan hanya dalam bentuk tugas-tugas di rumah sehingga tak membosankan.

"Tugas-tugas yang dikerjakan dalam buku tematik, kan dilengkapi pulang dengan gambar, bisa dijadikan panduan dan acuan untuk jawaban, kata sembari tersenyum.

Hayati (39) ibu dari Raziq mengakui dengan penerapan K-13, memang menuntut banyak keterlibatannya mengarahkan anaknya yang sedang duduk di bangku kelas IV SD itu.

Hampir setiap hari ada tugas dengan mengisi tematik tersebut, terkadang banyak tugas itu, faktor mengerjakan oleh anak ditumpuk. Terlepas dari itu, masih syukur dalam pembelajaran tema-tema pada tematik tidak terlalu berat dan banyak yang berkaitan dengan lingkungan dan aktivitas keseharian.

Selain itu, ada tentang perkembangan sumber daya alam dan ada sebagian berkaitan dengan program pembangunan pemerintahan, serta seni budaya nusantara.

"Banyak terlibat membantu dan mengawasi penyelesaian tugas anak, sekalian dapat pula memberi pembelajaran langsung, bagaimana hemat energi atau peduli lingkungan serta pentingnya bertoleransi," ujarnya.

Jadi, selama anak-anak yang sedang melaksanakan K-13 mau untuk membaca yang ada pada buku dan dipandu orangtua untuk pekah terhadap lingkungan, tidak pula terlalu sulit. Apalagi, pada tematik dilengkapi dengan gambar-gambar pendukung misalnya membahas tentang energy air dan angin tradisional, sudah

tersedia gambar kincirnya.

Hanya saja, kata ibu yang berkerja wiraswasta itu, problemnya apakah semua orangtua punya wawasan seperti yang tertuang dalam buku panduan tematik tersebut, bila yang berpendidikan ataupun tinggal di perkotaan tentu sangat membantu.

Namun sebaliknya, ia menilai, kalau orangtua yang berada dipinggiran atau dipedesaan kalau di sekolah anaknya sudah menerapkan K-13 tentu banyak sedikitnya akan dihadapkan kendala dalam mendukung saat anak-anak menyelesaikan tugas di rumah.

Kendala itu, ia berpandangan, barangkali bisa saja diatasi bila mana ada komunikasi antara orangtua murid dengan tenaga pengajar, sehingga terjadi pesamaan pandangan dan adanya arahan bagi wali murid.

Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP) Dr. Abna Hidayati, berpandangan seperti adanya pertemuan orang tua murid di awal semester sebenarnya bisa jadi solusi, sehingga ada kesepakatan

antara sekolah dan orangtua mengenai pola pembelajaran atau keterlibatan.

Sebab, ketidaksamaan pemahaman dalam pola pembelajaran yang diterapkan dapat berdampak terhadap anak yang menjadi bingung, apalagi anak usia perkembangan awal.

Abna menjelaskan bahwa dalam teori Piaget mengatakan anak usia awal yakni 2 sampai 12 tahun, mereka harus diajarkan dengan sesuatu yang konkret dan cara mengajarkannya konsisten dengan contoh.

Justru itu, anak seusia itu harus banyak media pembelajaran dan supaya konkret dalam pelaksanaannya, maka guru sama orangtua harus sama ide atau persepsinya.

Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional harus sejalan dengan berjalannya keterlibatan semua sentra pendidikan (guru, orangtua dan lingkungan) yang berkolaborasi dalam pelaksananaannya.

Pelaksanaan K-13 lebih membuka wawasan anak bangsa sejak dini, hanya butuh kepedulian semua dalam penyempurnaan pelaksanaan menyiapkan generasi emas dalam hadapi era global.***