Bersahabat Dengan Gempa Meminimalkan Risiko Bencana

id Siaga Bencana

Bersahabat Dengan Gempa Meminimalkan Risiko Bencana

Sejumlah pelajar mengikuti Pelatihan Terbuka Kesiapsiagaan Bencana, di Lapangan Imam Bonjol, Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/1). Sebanyak 2.000 pelajar dari 18 SMA/SMK di kota itu mengikuti pelatihan terbuka digelar organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai edukasi mengenai mitigasi bencana gempa bumi. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Padang (Antara Sumbar) - Sebagai daerah yang berlokasi berada di antara pertemuan dua lempeng tektonik besar yaitu Eurasia dan Indo-Australia serta patahan (sesar) Semangko membuat Sumatera Barat menjadi salah satu daerah dengan intensitas gempa bumi cukup tinggi di Tanah Air.

Posisi geografis Ranah Minang yang dekat dengan pertemuan lempeng patahan Mentawai juga memicu segmen aktif yang berpotensi menimbulkan gempa bumi di daratan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Padang Panjang mencatat sepanjang 2016 terjadi 195 kali gempa bumi baik yang bersumber di didarat maupun di laut.

Berdasarkan peta seismisitas periode Januari-Desember 2016 ternyata gempa bumi di laut lebih banyak terjadi di sekitar kepulauan Mentawai, diakibatkan subduksi dan aktivitas sesar Mentawai yang cukup aktif.

Sedangkan gempa yang di daratan Sumatera disebabkan oleh segmen-segmen patahan Semangko yaitu segmen segmen sumpur, Segmen sianok, Segmen Sumani dan Segmen Suliti.

Kepala BMKG Stasiun Geofisika Padang Panjang Rahmat Triyono menilai sepanjang 2016 gempa bersumber didarat lebih banyak disebabkan aktivitas segmen sianok.

Segmen sianok berada disekitar Ngarai Sianok Kota Bukit tinggi sampai Tenggara Danau Singkarak melewati sisi Timur Danau, katanya.

Sedangkan segmen sumpur yang terletak di daerah Rao, Lubuk Sikaping Kabupaten Pasaman juga cukup aktif dibanding segmen lainya dilihat dari peta seismisitas gempa 2016.

Ia menyebutkan dari 195 kejadian gempa pada 2016 ada satu kejadian yang diikuti dengan peringatan dini tsunami oleh BMKG dengan level waspada untuk seluruh pantai barat Sumatera dan level siaga utuk kepulauan Mentawai yaitu pada gempa bumi Samudera Hindia 2 Maret 2016 pukul 19.49 WIB.

Dari 195 kejadian gempa tersebut ada 17 yang dirasakan masyarakat, baik yang bersumber di darat maupun di laut dengan intensitas berkisar dari I sampai V MMI atau I sampai III SIG BMKG.

Gempa bumi signifikan dan merusak terjadi pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2016 pukul 05.56 WIB dengan magnitudo 6,5 Skala Richter yang berlokasi pada 2,29 Lintang Selatan, 100,46 Bujur Timur tepatnya 79 kilometer Barat Daya Pesisir Selatan, pada kedalaman 72 kilometer.

Ia menyampaikan gempa tersebut berdampak pada kerusakan di Kabupaten Pesisir Selatan menyebabkan 14 korban luka dan 11 rumah rusak di Kecamatan Lengayang, Ranah Pesisir, Linggo Sari Baganti, Air Haji Tengah.

Gempa juga menimbulkan korban dua orang luka berat akibat tertimpa bangunan di Padang dan kerusakan pada tiga kecamatan di Kabupaten Mukomuko Bengkulu.

Rahmat menyebutkan secara statistik gempa dengan magnitudo di bawah 5 Skala Richter terjadi sebanyak 186 kali, di atas 5.0 Skala Richter 9 kali, gempa yang dirasakan sebanyak 17 kejadian dan yang tidak dirasakan sebanyak 178 kejadian.

Sementara berdasarkan bulan gempa terbanyak terjadi pada April dan November. Pada April terjadi 44 kali gempa dengan kategori yang dapat dirasakan sebanyak 5 kali dan magnitudo yang besar tiga kali.

Kemudian pada November terjadi 39 kali gempa namun hanya satu kali yang dirasakan dengan magnitudonya relatif kecil yaitu kurang dari 5 Skala Richter.

Tingkatkan Kesiap-Siagaan

Sementara Pakar gempa Universitas Andalas (Unand) Padang, Dr Badrul Mustafa menyampaikan terjadi peningkatan aktivitas gesekan lempeng di segmen megathrust Siberut menyebabkan sejumlah gempa yang getarannya dirasakan cukup kuat.

"Peningkatan aktivitas ini ada dua kemungkinn pertama segmen tersebut melepas energinya secara perlahan-lahan dan kedua tetap diperkirakan akan ada gempa cukup kuat tapi tidak sebesar yang diperkirakan para ahli," kata dia.

Menurutnya saat ini pada segmen megathrust di Seiberut masih menyimpan energi yang periode pelepasannya sudah memasuki siklus untuk melepaskannya.

Oleh sebab itu mengantisipasi terjadinya gempa diperlukan sejumlah kesiapan mulai dari infrastruktur, jalur evakuasi hingga kesiapan warga untuk meminimalkan korban, katanya.

Ia melihat untuk di Padang secara umum kesiapan warga sudah cukup baik terbukti dari beberapa kali gempa beberapa waktu terakhir masyarakat sudah mulai tenang dan tidak terlalu panik lagi sebagaimana dulu.

"Artinya sosialisasi apa yang harus dilakukan saat gempa sudah mulai efektif namun harus terus dilakukan," ujar dia.

Kemudian dari sisi infrastruktur seperti kekuatan bangunan jika dibangun setelah 2009 diperkirakan lebih tahan gempa, akan tetapi pemangku kepentingan terkait tetap harus memperhatikan hal ini.

"Jangan sampai ada bangunan yang strukturnya tidak kuat," ujar dia.

Kemudian untuk evakuasi vertikal dan horizontal juga perlu lebih dimaksimalkan agar bisa menampung warga, lanjutnya.

Kurikulum Kebencanaan

Pada sisi lain Badrul menilai materi kebencanaan mendesak dimasukan ke dalam kurikulum sekolah apalagi di Sumatera Barat karena daerahnya rawan bencana.

"Yang perlu dimasukan itu tentang potensi bencana alam yang ada di Sumbar agar siswa bisa memahaminya dengan baik," katanya.

Menurutnya setelah siswa paham potensi bencana juga perlu disampaikan intensitasnya sehingga bisa melakukan antisipasi atau mitigasi.

Jadi langkah mitigasi juga dilakukan di sekolah mulai dari sebelum bencana terjadi, saat bencana terjadi dan setelah bencana, katanya.

Ia memberi contoh sebelum bencana terjadi apa yang harus dipersiapkan siswa di sekolah dan seperti apa respon yang harus dilakukan saat bencana terjadi.

"Ketika gempa terjadi maka siswa bisa merespon dengan baik sehingga tidak mengalami ketakutan," katanya.

Pada sisi lain ia mengatakan ketika materi kebencanaan sudah masuk kurikulum bisa meminimalkan informasi yang menyesatkan soal bencana.

"Dulu ada isu tanggal sekian jam sekian akan datang gempa besar, padahal gempa tidak bisa diperkirakan waktunya, tentu siswa akan tahu kabar ini tidak benar," katanya.

Kemudian ketika siswa memahami bencana dengan baik setelah dewasa ilmu yang didapatkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ia menekankan semakin banyak masyarakat yang memahami bencana, bagaimana cara bereaksi dan antisipasi maka kerugian bisa diminimalkan.

Di negara-negara maju ketika terjadi bencana gempa kerugian yang ditimbulkan kecil karena warganya sudah paham bencana, katanya.

Sementara di daerah kita saat terjadi gempa yang tidak terlalu besar namun kerugian malah besar karena banyak yang belum paham soal bencana, lanjutnya.

Tidak hanya itu ia juga berpendapat di Sumatera Barat perlu hadir program studi kebencanaan mengingat daerah itu rawan gempa.

"Kehadiran program studi kebencanaan dibutuhkan untuk melakukan kajian dan analisis terhadap potensi gempa yang ada," katanya.

Menurutnya sebelumnya pihaknya telah mengusulkan izin pembukaan program studi kebencanaan kepada Kementerian Riset dan Dikti namun hingga saat ini belum ada lampu hijau.

Sementara kita butuh banyak penelitian seputar gempa di Sumbar, ujarnya.

Ia mengatakan di Indonesia memang sudah ada program studi kebencanaan seperti di ITB namun tentu mereka sibuk bekerja sama dengan pihak luar melakukan sejumlah penelitian.

Sementara untuk Sumbar sendiri belum tergarap dan butuh banyak kajian, katanya.

Tanggung Jawab Bersama

Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Sumatera Barat menilai penanggulangan bencana bukan hanya tugas pemerintah melainkan butuh sinergi semua pihak baik swasta maupun masyarakat.

"Butuh kolaborasi dan keterpaduan dalam upaya pengurangan risiko bencana, tidak bisa dibebankan pada pemerintah saja," kata Ketua FPRB Sumbar Khalid Syaifullah.

Menurutnya urusan pengurangan risiko bencana merupakan tanggung jawab semua pihak dan jangan ada yang mengklaim paling berjasa atau paling berperan karena hal ini merupakan kerja lintas sektor.

"Ketika bencana terjadi ada yang mengurus konsumsi, kesehatan, infrastruktur hingga perbaikan jalan karena itu perlu sinergi semua pihak," katanya.

Ia mengatakan prinsip utama yang dipakai dalam penanggulangan bencana adalah cepat dan tepat untuk mengurangi risiko yang terjadi.

Khalid menceritakan pengalamannya saat bencana gempa di Padangpariaman tahun 2009 ketika tiba di lokasi langsung didatangi oleh warga setempat.

"Bapak mau membagikan terpal ke sini ? tidak usah karena sudah terlalu banyak, kami tidak butuh lagi, padahal saya datang bukan mengantar bantuan," katanya menceritakan.

Artinya lanjut dia kalau manajemennya tidak tepat, bencana belum selesai sudah muncul masalah baru yaitu konflik di antara warga hingga pemberi bantuan.

Ia menilai hal itu terjadi karena memberikan bantuan yang tidak tepat akibat tidak ada koordinasi yang dipicu oleh tidak jalannya manajemen risiko.

Kemudian ia menyampaikan penanggulangan bencana merupakan hak asasi masyarakat dan dilakukan untuk menekan dampak dan kerugian yang ditimbulkan.

Tidak ada seorang pun ingin terjadi bencana, sebab itu perlu kesiapan menghadapinya jika ingin selamat karena bencana merupakan siklus yang selalu berulang dalam kehidupan manusia dan ruang ikhtiar untuk menyelamatkan diri akan selalu terbuka sejalan dengan kegigihan manusia.