KNTI Harapkan Regulasi Sektor Kelautan Tidak Hambat Akses Sumber Daya Perikanan

id KNTI

KNTI Harapkan Regulasi Sektor Kelautan Tidak Hambat Akses Sumber Daya Perikanan

Ilustrasi - Kapal nelayan. (Antara)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengingatkan agar regulasi yang dikeluarkan di sektor kelautan dan perikanan jangan sampai menghambat nelayan untuk mengakses sumber daya perikanan di kawasan perairan nasional.

"Akses terhadap sumber daya perikanan terhambat oleh beberapa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan seperti PERMEN KP No 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan dan PERMEN KP No 2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Pukat Hela dan Tarik," kata Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata, Senin.

Menurut dia, kedua regulasi itu berpijak kepada teknis lingkungan hidup namun kemudian tidak memastikan aspek sosial dan ekonomi dari nelayan dan petambak terlindungi.

Hal tersebut, lanjutnya, mengakibatkan yang terdampak buruk adalah nelayan dan petambak tradisional skala kecil dari masalah akses atas alat tangkap pengganti yang dianggap ramah lingkungan, hingga berujung kriminalisasi serta kemampuan untuk mengatur pasar ekonomi dari perubahan kebijakan tersebut.

Ia juga mengingatkan bahwa masalah alih alat tangkap menuju alat yang lebih ramah lingkungan saat ini dinilai masih berjalan dengan sangat lambat.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berharap masa peralihan dari cantrang ke alat penangkap ikan yang ramah lingkungan di kalangan nelayan berjalan dengan lancar.

"Agar peralihan alat tangkap ikan bisa berjalan lancar, maka perlu ada pendampingan dari Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi dan kabupaten/kota," katanya di Semarang, Kamis (21/9).

Ganjar meminta para nelayan memanfaatkan sebaik-baiknya masa transisi untuk mengganti cantrang yang dilarang pemerintah dengan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan.

Kajian yang dilakukan KKP juga menyatakan bahwa apabila penggunaan cantrang dilanjutkan, maka yang akan merugi adalah nelayan, serta hal itu dinilai juga akan merugikan keuangan negara.

Hal tersebut antara lain karena hasil tangkapan cantrang tidak selektif dan menyebabkan pengurangan stok sumber daya ikan, sehingga hasil tangkapan ikan ke depannya akan semakin berkurang.

Hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa kerugian hasil tangkapan bila dijabarkan dalam angka, maka hanya sekitar 18-40 persen hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, sedangkan sisanya (sekitar 60-82 persen) tidak dapat dimanfaatkan.

Dengan demikian, sebagian besar hasil tangkapan yang menggunakan trawl dan cantrang juga akan dibuang ke laut dalam keadaan mati.

Biota yang dibuang tersebut dinilai berpotensi akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan. (*)