Potensi Industri Makanan di Indonesia Capai Rp1.500 Triliun Per Tahun

id industri makanan

Potensi Industri Makanan di Indonesia Capai Rp1.500 Triliun Per Tahun

Ilustrasi, Industri makanan. (Antara)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Potensi ekonomi dari industri makanan nasional diperkirakan dapat mencapai angka hingga sekitar Rp1.500 triliun per tahun, kata peneliti bidang kimia pangan dari Wiratama Institute, Stessy Dwijuliandri Gultom.

"Industri makanan di Indonesia menjadi salah satu industri yang sangat cepat berkembang, nilainya ribuan triliun rupiah per tahun," kata Stessy dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, angka tersebut diproyeksikan dari pertumbuhan omzet industri makanan di Indonesia hingga semester I-2017, yang tercatat mencapai angka hingga Rp1.400 triliun.

Ia menerangkan, pada tahun 2014 saja, nilai produk industri makanan tersebut mencapai Rp1 triliun, dengan nilai bahan mentah mencapai Rp628,18 triliun.

Industri makanan itu, lanjutnya, didominasi oleh pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebanyak 1,57 juta usaha, yang memperkerjakan sebanyak 3,77 juta pekerja.

"Penghasilan kotor dari industri ini sebesar Rp180 triliun per tahunnya. Namun jika dihitung dengan total omzet yang tercipta, mencapai ribuan triliun rupiah per tahunnya," tutur Stessy.

Menurut Stessy, perkembangan yang amat pesat dalam industri makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengenalan produk, rasa dan kemasan baru, pertumbuhan kelas menengah, bertumbuhnya toko retail modern dan meningkatnya kesadaran akan kesehatan.

Kesadaran akan kesehatan ini, lanjut dia, memegang peranan penting dalam perkembangan industri makanan, bahkan terkadang dapat menentukan daya tahan dan daya saing UMKM, tentang usaha mana yang akan tetap berkembang dan mana yang akan gugur.

Contohnya, kata dia, para pelaku industri besar seperti Unilever, Indofood, Nestle dan lain-lain, meresponsnya dengan memproduksi makanan yang tinggi vitamin, menggunakan bahan yang lebih sehat dan menurunkan kadar gula, kolestrol dan lemak.

"Jika industri besar dapat dengan mudahnya menyesuaikan diri dengan permintaan pasar, bagaimana dengan UMKM? Kecenderungan konsumen untuk membeli produk dengan label 'healthier' menjadi pedang bermata dua bagi produsen UMKM," ungkap Stessy.

Pasalnya, jelas dia, peningkatan vitamin dan mineral dalam makanan hasil UMKM tidak dapat dilakukan dengan mudah antara lain karena para pelaku usaha terkadang belum dapat menentukan nilai gizi dari produk tersebut.

Meski demikian, Stessy mengemukakan bahwa ada cara lain untuk tetap mengikuti tren yaitu dalam hal kualitas produk, yaitu dengan menjaga kesegaran bahan baku dan cepatnya produk sampai ke tangan konsumen untuk dapat dimakan.

"Walaupun UMKM harus fokus dalam mengikuti trend yang sedang terjadi di masyarakat, hal terpenting dalam menjaga eksistensi dalam industri makanan adalah proses pembungkusan," paparnya dan menambahkan, tujuan utama pembungkusan adalah mencegah kontaminasi dan kerusakan makanan dari berbagai kondisi yang memengaruhinya. (*)