Akademisi: Indonesia Harus Bijak Sikapi Masalah Rohingya

id Poppy Irawan

Akademisi: Indonesia Harus Bijak Sikapi Masalah Rohingya

Poppy Irawan. (Antara Sumbar/Lestarysca)

Padang, (Antara Sumbar) - Akademisi Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat Poppy Irawan, MA.IR mengemukakan Indonesia harus hati-hati mengambil sikap terhadap masalah Rohingya terutama pada hubungan internasional.

"Karena wujud paling dasar dalam membangun hubungan internasional adalah negara bangsa, sama halnya Myanmar merupakan negara bangsa yang mempunyai wilayah dan suku bangsa," katanya di Padang, Selasa.

Menurutnya, dasar dari masalah etnis Rohingya yakni berada pada status kewarganegaraannya hal itu harus diperjelas bagaimana keberadaannya di Myanmar. Walaupun secara teritorial wilayah Rohingya milik Myanmar, namun etnis rohingya tidak dianggap menjadi suku bangsa negara tersebut.

"Jika mereka tidak dianggap menjadi bagian dari warga negara Myanmar, artinya bangsa Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan," katanya.

Ia mengatakan bila hal itu terjadi maka bangsa Rohingya merupakan tanggung jawab internasional, karena akan menimbulkan ketidakstabilan di sekitar kawasan tersebut, seperti negara tentangganya yakni Bangladesh, dan beberapa negara ASEAN.

Namun bila yang terjadi sebaliknya, kata dia, Rohingya milik kewarganegaraan Myanmar, tetapi negara tersebut tidak mengakuinya dan kemudian dalam internal negara tersebut terjadi pelanggaran kemanusiaan yang universal maka organisasi internasional dapat mengintervensi.

"Intervensi yang dimaksud yakni dalam hal kemanusiaan, contohnya mengirimkan pasukkan perdamaian untuk meredam para pihak berkonflik," katanya.

Disis lain, kata dia, organisasi internasional memiliki keterbatasan karena menyangkut kepada prinsip yang mana tidak boleh mencampuri urusan domestik suatu negara.

Ia mengatakan untuk saat ini Indonesia harus bertindak hati-hati jangan terprovokasi atas nama rasis dan sara, karena ini bukan sekadar masalah etnis Rohingya tetapi persoalan tentang kedaulatan suatu bangsa. (*)