Stop Menggunakan Kekerasan Dalam Mendidik Anak

id kekerasan anak

Stop Menggunakan Kekerasan Dalam Mendidik Anak

Ilustrasi, stop kekerasan terhadap perempuan. (Antara)

Padang, (Antara Sumbar) - Beberapa tahun terakhir publik di Tanah Air kerap disuguhipemberitaan soal pelaporan guru oleh orang tua murid kepada polisi dengan dalih telah melakukan kekerasan terhadap anaknya di sekolah.

Mungkin ada yang masih ingat pada Juni 2016 seorang guru SMP swasta di Sidoarjo harus mengikuti sidang di pengadilan setelah dilaporkan oleh orang tua siswa atas dugaan kasus penganiayaan.

Kala itu Sambudi (45), guru SMP swasta di Sidoarjo, Jawa Timur diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo karena dilaporkan kepada polisi oleh orang tua murid atas tuduhan telah mencubit anaknya.

Kasus tersebut cukup ironi karena pada satu sisi sang guru tengah menjalankan kewajiban untuk mendidik siswanya, namun pada sisi lain upaya pendisiplinan yang dilakukannya harus mengantarkannya menjadi seorang pesakitan yang duduk di kursi pengadilan.

Meski Sambudi hanya dikenakan hukuman masa percobaan enam bulan dan denda Rp250 ribu, putusan ini menjadi preseden buruk bagi kalangan pendidik di Tanah Air karena sewaktu-waktu dapat saja harus berurusan dengan aparat penegak hukum saat menjalankan tugas sebagai pendidik.

Tidak hanya itu sejumlah kasus lainnya terkait pelaporan guru kepada aparat penegak hukum membuat para guru berada dalam kegamangan dan dilema dalam mendidik para generasi penerus calon pemimpin masa depan.

Jika ditilik penggunaan kekerasan dalam proses pembelajaran merupkan salah satu bentuk mekanisme pemberian hukuman, namun jika tidak tepat bukannya memberikan dampak yang baik malah sebaliknya menjadi blunder bagi kedua belah pihak, baik murid maupun guru.

Memang dulu berkembang pandangan pola pendidikan yang keras merupakan hal wajar untuk melahirkan generasi yang disiplin, patuh, taat dan bertanggung jawab.

Penggunaan kekerasan dalam keluarga juga terungkap dari survei yang dilaksanakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dari 1.026 anak yang diwawancarai 38 persen diantaranya mengaku pernah mendapatkan kekerasan verbal dari ibu, 35 persen dari ayah dan sisanya oleh saudara.

Tetapi lagi-lagi cara pandang seperti itu sudah harus diubah karena dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa.

Kemudian dalam pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan danatau denda paling banyak Rp72 juta.

Tidak hanya itu dalam pasal 54 juga dinyatakan anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Dari sejumlah regulasi hukum tersebut artinya paradigma lama yang memandang pendidikan yang keras menjadi kunci keberhasilan harus dibuang jauh-jauh karena sudah tak relevan lagi dengan konteks kekinian.

Menyikapi hal itu Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengingatkan para guru di Tanah Air agar tidak menggunakan kekerasan dalam mendisiplinkan siswa di sekolah.

"Sekarang abadnya sudah berubah, proses pembelajaran sudah berkembang sedemikian rupa sehingga suatu keharusan prinsip perlindungan anak harus diintegrasikan dalam penyelenggaraan pendidikan," katanya.

Ia menyarankan dalam mendidik, guru mengembangkan konsep disiplin positif.

"Konsep disiplin positif adalah upaya menumbuhkan kedisiplinan pada siswa dengan pendekatan yang menumbuhkan tanggung jawab, kesadaran dan komitmen," katanya.

Jadi sudah tidak zamannya lagi dalam mendidik menimbulkan ketakutan, kegelisahan bahkan ancaman, lanjut dia.

Ia meyakini setiap anak punya potensi untuk menjadi baik dan dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan.

"Karena itu pendekatan disiplin dengan pola kekerasan sudah tidak relevan saat ini," katanya.

Terkait dengan pernyataan jika zaman dulu guru mendidik dengan keras sehingga banyak murid yang berhasil, ia mengatakan kalau sejak dulu diterapkan disiplin positif maka murid jauh akan lebih sukses.

Ia mengakui saat ini guru berada dalam dilema karena gamang dan takut menjalankan profesi sebab ada sejumlah guru yang tersangkut kasus hukum akibat melakukan kekerasan terhadap siswa.

"Guru harus bisa memilah mana wilayah kekerasan dan mana wilayah pendidikan," ujarnya.

Akan tetapi dia mengatakan saat ini kasus guru yang berhadapan dengan hukum karena perlakuan terhadap siswa sudah jauh menurun dibandingkan sebelumnya.

KPAI mengapresiasi turunnya kasus pelaporan guru oleh orang tua siswa kepada penegak hukum, ini adalah langkah terbaik anak harus dilindungi dan guru bisa menjalankan tugas dengan baik, ujarnya.

Salah seorang Guru SMP negeri di Padnag Ridwan mengaku khawatir dengan maraknya kasus pelaporan guru kepada aparat hukum setelah mendisiplinkan siswa.

"Kami khawatir guru jadi tidak produktif, tidak bisa berbuat banyak karena berada di bawah ancaman. Oleh sebab itu regulasi terhadap hal ini harus jelas agar guru juga terlindungi," katanya.

Sementara berdasarkan data yang dihimpun dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Limpapeh Rumah Nan Gadang Sumatera Barat tercatat ada 64 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah itu pada 2016.

"Dari semua laporan tersebut, 17 kasus menimpa anak-anak dan 47 kasus terjadi pada orang dewasa," kata Wakil Ketua I P2TP2A Sumbar Daslinar.

Untuk menanganinya sejak 2014, P2TP2A telah bekerja sama dengan Dinas Sosial Sumatera Barat melakukan rehabilitasi terhadap korban kekerasan perempuan dan anak.

Pada sisi lain akademikus Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang Charles Simabura menilai Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak perlu lebih disosialisasikan karena banyak yang belum mengetahuinya.

"Perda ini sebenarnya lebih komprehensif tidak hanya bicara soal perlindungan tapi bagaimana pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dalam empat aspek, namun banyak yang belum tahu," kata dia.

Menurut dia, perda tersebut memuat perlindungan terhadap hak perempuan berupa pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perlindungan kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Akan tetapi karena belum tersosialisasi secara luas, banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan jika mengalami atau menemukan kekerasan terhadap perempuan dan anak. (*)