KPAI: Sistem Pendidikan Harus Sesuai Sosiokultural Masyarakat

id Susanto

KPAI: Sistem Pendidikan Harus Sesuai Sosiokultural Masyarakat

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto. (Antara)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan sistem pendidikan harus relevan, bukan justru bertentangan, dengan potret faktual sosiokultural masyarakat.

"Semangat besar Presiden Joko Widodo untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah harus didukung, tetapi bukan dengan menambah jumlah jam belajar di sekolah," kata Susanto melalui pesan tertulis di Jakarta, Senin.

Susanto mengatakan arsitektur pendidikan harus dirumuskan sebagai pendidikan masa depan yang berorientasi jangka panjang, khas dan menjawab masyarakat yang majemuk dalam segala hal.

Karena itu, Susanto menilai dari perspektif sosiokultural rencana kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tidak senafas dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan multikultur.

"Indonesia itu bukan hanya perkotaan, tetapi sangat beragam. Seyogyanya, dengan keragaman yang ada, sistem pendidikan harus relevan dengan kondisi sosiokultural masyarakat setempat," tuturnya.

Hal itu sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah".

"Dengan Pasal tersebut, maka satuan pendidikan memiliki kemandirian untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan masing-masing sekolah atau madrasah," katanya.

Karena itu, KPAI meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar mengkaji kembali rencana kebijakan tersebut. Menurut Susanto, membangun sistem pendidikan harus menyeluruh.

Pendidikan harus memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah dan peran keluarga dalam pengasuhan atau pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta keterlibatan masyarakat.

"Anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kekurangan jam belajar di sekolah. Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dan memastikan keterlibatan lingkungan sosial," katanya. (*)