WCC: Hak Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Minim

id kekerasan perempuan

WCC: Hak Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Minim

Ilustrasi, stop kekerasan terhadap perempuan. (Antara)

Padang, (Antara Sumbar) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Women's Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Sumatera Barat, menyayangkan hak perlindungan terhadap korban kekerasan seksual masih sangat minim dalam proses peradilan.

"Seperti yang dialami korban inisial RI dalam persidangan perkara pencabulan dan pelecehan seksual yang diduga dilakukan 7 orang oknum Denzipur 2/PS Payakumbuh di Pengadilan Militer I-03 Padang, yang kehadiran untuk memberikan pendamping pada korban ditolak majelis hakim," kata Direktur LSM WCC Nurani Perempuan Sumbar, Yefri Heriani di Padang, Rabu.

Ia mengatakan memberikan perlindungan terhadap korban berupa hak untuk mendapatkan pendampingan, hal seperti itu sangat dibutuhkan korban guna memberikan kenyamanan terhadapnya, serta memastikan proses peradilan berjalan dengan semestinya tanpa ada penekanan terhadap psikolog korban.

"Padahal dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum, serta Undang-Undang 13 tahun 2006, dan Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang perlindungan saksi dan korban telah dijelaskan," katanya.

Ia menjelaskan yang mana isinya tersebut menegaskan adanya kewajiban dan wewenang dalam mendampingi saksi atau korban serta kline dalam proses sidang di pengadilan.

Menurut dia, kedua UU tersebut merupakan jaminan bagi pendamping korban untuk mendampingi korban dalam proses peradilan itu untuk memberi dukungan dan penguatan psikologis kepada korban.

Maka dari itu, ia menyatakan tidak setuju terhadap penolakan dari salah satu penegak hukum dalam proses pengadilan untuk menghadirkan pendamping terhadap korban.

Oleh sebab itu, ia meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim-hakim militer yang dengan sengaja mengabaikan hak-hak korban dalam memperoleh keadilan.

Selain itu, kata dia, pihaknya akan mendorong Mahkamah Agung untuk membuat kebijakan yang menjamin pemenuhan hak-hak korban dalam mendapatkan pendamping di dalam maupun di luar persidangan. (*)