KPK Periksa Empat Saksi Terkait Miryam

id Febri Diansyah

KPK Periksa Empat Saksi Terkait Miryam

Juru Bicara KPK Febri Diansyah. (Antara)

Jakarta, (Antara Sumbar) - KPK dijadwalkan memeriksa empat orang saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP Elektronik (KTP-E) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.

"Empat orang saksi itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Miryam S Haryani (MSH)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Empat saksi yang akan diperiksa itu, yakni Direktur PT Quadra Solution Achmad Fauzi, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, Robinson seorang pengacara, dan Gugun dari pihak swasta.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo yang menjadi saksi dalam perkara tindak pidana korupsi pangadaan paket KTP Elektronik (KTP-E) membantah pernah memberikan uang kepada terdakwa kasus pengadaan paket KTP Elektronik (KTP-E) Sugiharto.

"Pernah saksi memberikan uang Rp5 miliar ke Pak Sugiharto?," tanya salah satu anggota Jaksa Penuntut Umum (KPK) dalam sidang lanjutan perkara pengadaan paket KTP-E di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (6/4).

"Tidak pernah," jawab Anang.

"Pernah juga memberikan uang lewat Vidi Gunawan (adik Andi Agustinus) ke Pak Sugiharto?

"Saya ketemu Vidi itu cuma di PNRI tidak pernah ketemu dengan dia setelah itu," jawab Anang.

Saksi Anang juga membantah pernah memberikan uang Rp4 miliar kepada Sugiharto.

"Pernah dititipkan oleh anggota konsorsium lain untuk diserahkan ke Sugiharto?," tanya Jaksa KPK.

"Tidak pernah," jawab Anang.

Anang pun mencoba mengklarifkasi bahwa dalam surat dakwaan seolah-olah dirnya diminta Sugiharto untuk mengumpulkan uang karena adanya kebutuhan anggaran di DPR.

"Saya kalau pun ada proyek untuk saya kemudian saya diminta untuk bayar-bayar seperti tidak akan pernah saya lakukan, jadi kalau ada kepentingan saya tidak akan melalukan itu," tuturnya.

Ia pun menyatakan bahwa terkait untuk anggaran proyek KTP-E 2012 atau 2013 itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan PT Quadra Solution.

"Quadra hanya bertanggung jawab terhadap hardware dan kami itu mati-matian kerja tahun 2011 dan 2012 tetapi 2013 ke sana kami sudah tidak ada kerjaan sebenarnya. Jadi kalau untuk yang ada kepentingannya pun saya tidak mau apalagi yang jelas-jelas tidak ada kepentingan dan

2012 itu tiap hari tiap minggu mungkin bisa tanya ke Pak Irman, kami ini ketemu dengan tim, kerjaan kami tidak ada yang lain kecuali beresin distribusi barang," ujarnya.

PT Quadra Solution diketahui sebagai salah satu anggota konsorsium dalam proyek pengadaan KTP-e bersama dengan PT LEN Industri, PNRI, PT Sandipala Arthaputra, dan PT Sucofindo.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa PT Quadra Solution menerima uang sejumlah Rp127,32 miliar terkait proyek KTP-e sebesar Rp5,95 triliun itu.

KPK menetapkan Miryam S Haryani, tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP-E atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Dalam persidangan pada Kamis (23/3) di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP-E.

"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," jawab Miryam sambil menangis.

Terkait hal itu, Miryam dalam persidangan juga menyatakan akan mencabut BAP atas pemeriksaan dirinya.

Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut. (*)