MUI Pariaman Kecam Tindakan Pelecehan pada Anak

id Mui

MUI Pariaman Kecam Tindakan Pelecehan pada Anak

Logo Majelis Ulama Indonesia (MUI). (Antara)

Pariaman, (Antara Sumbar) - Ketua Badan Kehormatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pariaman, Sumatera Barat, Jauhar Mu'is mengecam kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak di bawah umur di kota itu.

"Perbuatan pelaku tersebut sudah tidak normal, dan harus segera ditindak karena berlawanan dengan agama dan hukum," kata dia di Pariaman, Jumat.

Ia mengatakan kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur tersebut merupakan akibat pemahaman agama pelaku yang kurang, dan moral yang rusak.

"Kebanyakan sekarang umat muslim hanya beragama saja, namun tidak menjalankan arti agama tersebut," kata mantan Ketua MUI Kota Pariaman ini.

Untuk mencegah kasus kekerasan seksual atau korban selanjutnya, pihaknya menyarankan agar masyarakat setempat terus mengontrol anak dan memberikan pendidikan agama.

Sementara itu Kepala Satuan (Kasat) Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polres setempat AKP Andi P Lorena, mengatakan pihak kepolisian setempat masih melakukan pendalaman dugaan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh BD (29) warga Kecamatan Pariaman Timur terhadap anak di bawah umur.

"Pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dengan mengumpulkan barang bukti dan memanggil para saksi," kata dia.

Ia mengatakan hingga saat ini sudah ada dua laporan yang diterima pihaknya dari masyarakat karena merasa anggota keluarganya menjadi korban tindak kekerasan seksual.

"Memang sudah ada dua laporan masuk, namun pihak kepolisian belum melakukan pemanggilan kepada terlapor karena masih mengumpulkan barang bukti yang kuat," ujar dia.

Beberapa langkah akan dilakukan ujar dia, yaitu upaya visum ke Rumah Sakit (RS) untuk memastikan bagian vital para korban yang diduga menjadi korban sodomi.

"Rencananya kita akan lakukan visum di RSUD Pariaman, jika perlu dilakukan tindaklanjut ke Rumah Sakit Bhayangkara Padang untuk menguatkan hasil visum korban pascakejadian," ujarnya.

Ia menyebutkan pemeriksaan visum secara detail sangat perlu dilakukan mengingat kejadian tersebut sudah terjadi sejak Desember 2016. Kasus tersebut ujar dia, baru dilaporkan oleh salah satu pihak keluarga pada April 2017.

Ia menjelaskan terungkapnya kasus tersebut baru diketahui orang tua anak setelah memperhatikan tingkah laku anaknya yang berubah. Setelah dilakukan pendekatan, barulah anak tersebut mengakui sudah disodomi oleh BD sejak beberapa bulan terakhir.

Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise menyebutkan sesuai dengan UU perlindungan No 17 tahun 2016 barang siapa melakukan kekerasan seksual terhadap anak yang berakibat pada anak mengalami cacat mental, maka pelakunya akan dihukum pidana maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara dan hukuman kebiri.

Selanjutnya korban sendiri nantinya akan diberikan konseling dan pendampingan oleh P2TP2A agar perlahan-lahan si korban bisa hilang rasa traumatiknya yang tentu saja berpengaruh pada psikologis korban.(*)