Pemerintah Tegaskan Penegakan HAM Ketenagakerjaan Industri Perikanan

id Susi Pudjisatuti

Pemerintah Tegaskan Penegakan HAM Ketenagakerjaan Industri Perikanan

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. (Antara)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Pemerintah menegaskan bakal terus menegakkan berbagai aspek hak asasi manusia (HAM) dalam bidang ketenagakerjaan dalam beragam hal yang terkait dengan industri perikanan yang beroperasi di Tanah Air.

"Kita tidak boleh membiarkan perusahaan merekrut dan memperlakukan orang-orang sebagai pekerja di sektor kelautan dan perikanan secara semena-mena," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam Konferensi Internasional Proteksi HAM Industri Perikanan di kantor KKP, Jakarta, Senin.

Menurut Susi, kasus pelanggaran HAM terjadi di Benjina beberapa tahun lalu membuka mata bahwa perbudakan modern terjadi di sektor perikanan, dan apa yang dialami oleh para korban dari berbagai negara sangat menyedihkan. Begitu juga kondisi mengenaskan juga dialami oleh ABK Indonesia di berbagai lautan internasional.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyampaikan penghargaannya terhadap jajaran KKP sebagai inisiatif perlindungan tenaga kerja di sektor perikanan, dengan membuat regulasi yang memastikan industri perikanan untuk semakin mematuhi norma-norma HAM.

"Ini menunjukkan komitmen dari pemerintah Indonesia untuk melindungi HAM dari semua stakeholder sektor kemaritiman," kata Hanif Dhakiri.

Menaker juga mengatakan, tantangan saat ini belum semua industri kelautan dan perikanan belum semua mematuhi norma-norma universal seperti prinsip HAM internasional, baik itu pengusaha dan juga serikat pekerja yang dinilai belum tumbuh kuat di sektor kelautan dan perikanan.

Pembicara lainnya, Duta Besar Belgia Patrick Herman menyatakan bangga bisa berkontribusi terhadap proses perdamaian seperti menegakkan aspek HAM yang ada di sektor kelautan dan perikanan.

"HAM bukanlah liabilitas dalam kertas, tetapi merupakan aset yang sangat penting dan pendorong bagi daya saing bisnis perusahaan," kata Dubes Belgia.

Sedangkan Ketua Yayasan Pelaporan Standard HAM Internasional (FIHRRST) Marzuki Darusman mengapresiasi banyak hal yang telah dikerjakan KKP, khususnya regulasi yang mengharuskan korporasi menaati sertifikasi HAM bila ingin beroperasi di kawasan perairan Indonesia.

Sebelumnya, KKP telah menerbitkan peraturan yang mewajibkan kapal perikanan baik kapal tangkap maupun kapal angkut yang beroperasi di RI untuk mematuhi standar HAM berdasarkan prinsip PBB, sebagai prasyarat mendapatkan izin tangkap/angkut ikan.

Regulasi tersebut adalah Peraturan Menteri KP No 35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM di Industri Perikanan, Permen KP No 42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan, dan Permen KP No 2/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM di industri perikanan.

Tiga regulasi tersebut bertujuan untuk memastikan pengusaha perikanan menghormati dan melindungi HAM, termasuk awak kapal perikanan dan masyarakat sekitar, serta diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkeadilan, memberikan kepastian hukum, bermanfaat, dan sesuai asas pembangunan berkelanjutan.

Uji coba lapangan pelaksanaan sertifikasi HAM perikanan telah dilaksanakan antara lain terhadap PT Perikanan Nusantara (Persero), 13-17 Maret 2017, yang menilai aspek-aspek sistem HAM yang terdiri atas kebijakan, uji tuntas, dan pemulihan HAM, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), rekrutmen awak kapal, ketenagakerjaan, pengembangan masyarakat sekitar, pengambilan lahan, keamanan dan lingkungan.

Diharapkan berbagai pengusaha perikanan lainnya yang terdapat di Tanah Air juga bakal dapat memahami mengenai aspek HAM di bidang industri perikanan sehingga penerapan regulasi tersebut bisa berjalan efektif.

Sebelumnya, Organisasi Internasional Migrasi (IOM) melaporkan bahwa 1.207 dari 1.258 nelayan asing yang bekerja di kapal ikan eks-asing yang merupakan korban perdagangan manusia di perairan domestik. Dalam kasus Benjina tahun 2014, KKP juga melaporkan bahwa lebih dari 682 orang (di Benjina) dan 373 orang (di Ambon) ditemukan menjadi korban perbudakan modern. (*)