Pengembangan Wisata Harus Sinkron dari Daerah hingga Pusat

id pengembanganpariwisata

Pengembangan Wisata Harus Sinkron dari Daerah hingga Pusat

Kepala Dinas Pariwisata Sumbar Oni Yulfian (Miko Elfisha)

Padang, (Antara Sumbar) - Pengembangan pariwisata harus terpadu dan sinkron antara kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat agar permasalahan dan kendala yang muncul dalam prosesnya bisa diselesaikan bersama, sehingga hasilnya bisa lebih cepat dan maksimal.

"Daerah akan kesulitan jika harus mengembangkan destinasi wisata mengandalkan APBD. Karena itu dilakukan bersama-sama, termasuk untuk Kawasan Wisata Terpadu Mandeh," kata Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Barat, Oni Yulfian di Padang, Selasa.

Menurutnya pola tersebut bisa dilakukan untuk mempercepat pengembangan pariwisata daerah yang memiliki keterbatasan anggaran.

Meski demikian pengembangan secara parsial atau sebagian-sebagian, menurutnya tetap bisa dilakukan oleh kabupaten dan kota terutama jika ada investor yang datang.

Hanya saja hal itu harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten dan kota, yang perlu juga disinkronkan dengan RTRW provinsi, agar tidak terjadi persoalan di kemudian hari.

Ia mencontohkan untuk Kawasan Wisata Terpadu Mandeh yang berada di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kota Padang, luasnya mencapai 18 ribu hektar. Sebanyak 400 hektar direncanakan akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Lokasi yang direncanakan untuk itu adalah Bukik Ameh.

Namun kawasan Bukik Ameh yang berada dalam KWT Mandeh itu luasnya mencapai 1340 hektar. Bagian mana yang akan dijadikan KEK masih belum jelas karena pembebasan lahan masih terkendala.

"Jika nanti ada investor masuk dan membangun di Kawasan Bukik Ameh ini, ternyata lahannya nanti berada dalam rencana KEK, akan muncul lagi persoalan. Karena itu, sejak awal sangat perlu RTRW," katanya.

Untuk Sumbar, menurutnya sudah ada Perda Nomor 13 tahun 2012 tentang RTRW Sumbar 2012-2031. Dalam RTRW itu telah ada peruntukan yang jelas, salah satunya untuk pariwisata.

"Kabupaten dan kota juga harus memiliki RTRW yang jelas dan seharusnya juga disinkronkan dengan Perda ini," katanya.

Terkait percepatan pengembangan KWT Mandeh, menurut Oni posisi Pemprov Sumbar adalah menfasilitasi antara Pesisir Selatan dan Kota Padang dengan Kementerian Pariwisata.

"Kementerian bersedia membantu pengembangan KWT Mandeh melalui KEK asalkan daerah bisa menyediakan lahan. Provinsi menfasilitasi penyediaan lahan itu dengan pembagian anggaran dengan Kabupaten Pesisir Selatan. Provinsi menyediakan anggaran Rp35 miliar dan Pesisir Selatan Rp15 miliar," katanya.

Hanya saja dalam prosesnya, pembebasan lahan itu terkendala Undang-undang No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Dalam Undang-Undang itu disebutkan hanya 18 item jenis lahan yang dapat dibebaskan pemerintah untuk kepentingan umum. Dari 18 item itu, kebetulan tidak ada lahan untuk pariwisata.

Artinya, kalau Pemprov Sumbar dan Pesisir Selatan tetap berkeras untuk membebaskan lahan, bisa menjadi temuan dan ujung-ujungnya berurusan dengan hukum.

Saat ini Pemprov sedang berupaya mencarikan solusi agar pembebasan lahan tersebut tetap bisa dilakukan menggunakan APBD.

Kawasan Wisata Terpadu Mandeh disebut-sebut memiliki keindahan yang tidak kalah dengan Raja Ampat, Papua sehingga dijuluki sebagai Raja Ampat dari Sumatera.

Destinasi wisata itu makin dikenal setelah kunjungan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2015 yang dibawa oleh Menteri Bappenas kala itu, Andrinof Chaniago.

Namun karena kendala pembebasan lahan, maka untuk sementara investor yang datang ke Sumbar diarahkan ke Kawasan Wisata Gunung Padang di Kota Padang yang telah memiliki lahan yang telah bebas lebih dari 500 hektar, rencana induk pengembangan pariwisata bahkan studi kelayakan.*