Kisah Pendulang Emas Tradisional dari Sisawah

id mendulang emas

Kisah Pendulang Emas Tradisional dari Sisawah

Anak-anak ikut mendulang emas di sungai.

Seusai hujan, di tepi jalan, harum tanah menguap bersama aroma getah yang mengeras pada akar pohon.

Di bawahnya sungai mengalir ke hilir, mengantar jalan ke perkotaan, namun Gusmaidar (57) berencana tetap berada di sungai itu, seperti hari-hari sebelumnya.

Sepulang dari ladang, ia duduk di batu sungai yang cukup besar untuk berbaring. Perempuan itu berencana menghabiskan waktu hingga matahari terbenam di tepian sungai.

Dengan tempurung kelapa yang sudah dibelah dua, ia mengambil pasir-pasir di bawah batu kali, kemudian dimasukannya ke jae atau alat untuk mendulang terbuat dari kayu. Setelah cukup banyak, ia memasukan jae ke sungai. Dengan gerakan memutar, ia mengaduk pasir tersebut hingga hanyut sedikit demi sedikit.

Entah sudah yang ke berapa kali Gusmaidar mengaduk, namun raut mukanya belum juga berubah, sebab siang itu belum seserpih pun emas yang ia dapat.

Emas urai, menurutnya, ada di sekitar pasir-pasir yang berada di bawah batu sungai. Semakin ke dalam ia mengeruk, semakin besar peluangnya mendapatkan emas. Lalu pada kerukan dan putaran dulang yang kesekian kali, ia menyeringai.

Ada kilauan di jae miliknya. Kemudian ia menempelkan jari telunjuknya ke butiran emas itu. Selanjutnya dimasukkan ke batok kelapa yang sudah diberi alas plastik hitam dan diisi air. Di situlah, butiran emas yang ia dapat dikumpulkan.

"'Alun sabara lai, masih saketek' (Belum seberapa, masih sedikit, red.)," katanya.

Tak jauh dari lokasi dirinya mencari emas, ada beberapa orang yang ikut mencari emas. Salah satunya adalah Buh (50), yang memiliki cara berbeda untuk menyisihkan butiran emas dari pasir dan kerikil.

Laki-laki paruh baya itu menggunakan sekop untuk mengeruk pasir di bawah batu sungai sehingga lebih banyak didapat dibandingkan dengan menggunakan batok kelapa.

Buh tidak meletakkan hasil kerukan itu ke jae, melainkan ke atas tempat dari bambu beralaskan karpet atau kain beludru. Di atas kain itu, ia melihat butiran-butiran emas tertinggal.

Buh mengaku sudah sejak usia lajang mendulang emas di Sungai Batang Sumpu Lubuk Tasapik itu.

"Kami mendulang di sini sudah menjadi tradisi sejak dulu, karena memang tidak dieksploitasi sehingga tidak merusak lingkungan," katanya.

Dulu, katanya, pernah ada yang mencari emas menggunakan mesin sehingga terjadi kerusakan lingkungan.

Berdasarkan kearifan lokal, kegiatan tersebut dihentikan, namun mencari emas secara tradisional dengan mendulang masih dipertahankan hingga kini.

Tidak hanya warga yang berusia lanjut, para pemuda pun juga ikut menjaga tradisi mendulang, seperti yang dilakukan Rian (28).

Dirinya sudah delapan tahun sejak tamat sekolah memilih mencari emas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Setiap hari, ia bisa mendapatkan dua hingga tiga buncis emas. Buncis merupakan satuan berat untuk butiran-butiran kecil yang didapatnya dari mendulang. Per buncis harganya Rp43 ribu.

Saat ia mendapatkan 2,5 buncis emas, setara dengan satu gram emas murni. Ketika dirasa cukup, Rian membawa emas hasil mendulangnya ke toko emas di Pasar Nagari Tanjung Ampalu, Sijunjung, untuk dijual.

"Emas ini agak sulit didapat saat musim penghujan, karena air sungai lebih tinggi. Saat musim panas biasanya kami dapat banyak," kata Rian sambil mengeratkan tali pengikat tempat meletakkan emas di pinggangnya.

Kendati demikian, Rian tetap bersemangat mendulang bersama teman-temannya.

"Kalau sudah bersama-sama teman, lelah tidak terasa," kata lelaki asli Sisawah tersebut.

Nagari Sisawah, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, merupakan salah satu nagari yang berada di kawasan perbukitan penghasil karet dan rotan dengan luas 12 ribu hektare.

Daerah itu juga dikenal dengan alamnya yang asri dan banyak ngalau atau gua di perbukitan.

Mencari emas secara tradisional, sudah menjadi budaya warga setempat yang rata-rata bekerja sebagai petani. Tepatnya di Jorong (Kampung) Koto yang dapat ditempuh selama satu setengah jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat atau setengah jam menggunakan roda dua.

Mendulang juga dilakukan anak-anak setempat sepulang sekolah. Mereka mendulang emas sekaligus bermain.

Wisata Mendulang

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sijunjung Rizal Effendi mengatakan pihaknya akan mengembangkan paket wisata mendulang emas di Nagari Sisawah.

Wisata mendulang akan menjadi hal yang menarik bagi para pendatang yang ingin mencoba mencari emas secara tradisional, sekaligus mendapatkan emas yang bisa dibawa pulang.

"Aktivitas mencari emas secara tradisional di Sisawah ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi wisata dulang, rencana kita akan menggarap itu ke depan, selain bisa belajar mendulang, wisatawan juga bisa langsung membawa pulang emas yang mereka dapat," kata Rizal.

Dengan pengembangan potensi tersebut, kata dia, dapat membuat Nagari Sisawah lebih banyak dikunjungi pendatang, sehingga potensi lainnya seperti wisata ngalau dan produk rotan di daerah itu bisa semakin terpublikasi.

Sijunjung adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Ibu kota kabupaten itu Muaro Sijunjung. Sebelum 2004, Kabupaten Sijunjung merupakan daerah terluas ketiga di Sumatera Barat dengan nama Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.

Namun, sejak dimekarkan (yang menghasilkan Kabupaten Dharmasraya), kabupaten itu menjadi daerah tersempit kedua di Sumatera Barat.

Kabupaten berjulukan "Lansek Manih" itu berbatasan langsung dengan Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, di sebelah timur, Kabupaten Tanah Datar dan Kota Sawahlunto di sebelah barat, serta Kabupaten Solok dan Kabupaten Dharmasraya di sebelah selatan.

Saat ini, Kabupaten Sijunjung memiliki luas 3.130,80 kilometer persegi yang terdiri atas delapan kecamatan dengan jumlah penduduk lebih dari 202.000 jiwa.

Sijunjung dikenal akan hasil pertambangan, terutama batubara dan berbagai pertambangan mineral lainnya, seperti emas, pasir, dan batu (sirtu), dan tanah uruk.

Selain di aliran Sungai Batang Sumpu Lubuk Tasapik, pencari emas tradisional juga tersebar di Sungai Batang Kuantan, Mundam Sakti, dan Sungai Betung di kabupaten itu. (*)