Ahli: Tidak Berbeda Gunakan Pakai Atau Tidak

id sidang ahok

Ahli: Tidak Berbeda Gunakan Pakai Atau Tidak

Gubenur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani persidangan lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta. (ANTARA FOTO/POOL/Irwan Rismawan)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Mahyuni, ahli Bahasa Indonesia dari Universitas Mataram yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan, tidak ada perbedaan menggunakan kata "pakai" atau tidak saat Ahok menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51.

"Itu sama saja, karena kata 'pakai' adalah kata pasif yang tidak akan mengubah kalimat apabila disertakan atau tidak disertakan dalam kalimat," kata Mahyuni saat memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin.

Oleh karena itu dalam konteks pidato Ahok itu, ia menyatakan bahwa Surat Al-Maidah ayat 51 tetap sebagai alat untuk membohongi.

"Kata bohong itu sendiri sebelum melihat konteks kalimatnya sudah negatif sehingga jika ada hal yang tidak kompeten sebaiknya jangan diucapkan," ucap Mahyuni.

JPU dijadwalkan menghadirkan empat ahli antara lain ahli Agama Islam Muhammad Amin Suma, ahli Bahasa Indonesia Mahyuni dan dua ahli hukum pidana masing-masing Mudzakkir dan Abdul Chair Ramadhan.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (*)