Aksi Nyata Pengendalian Inflasi Sumatera Barat

id Inflasi

 Aksi Nyata Pengendalian Inflasi Sumatera Barat

Ilustrasi - Inflasi. (Antara)

Sepanjang 2016 cabai merah masih menjadi pemicu inflasi terbesar di Sumatera Barat karena harga komoditas pangan yang dikenal dengan rasa pedasnya itu sempat melonjak hingga Rp120 ribu per kilogram dari harga normal sekitar Rp40 ribu/kg.

Meskipun inflasi pada 2016 relatif stabil pada angka 4,89 persen, namun cabai memiliki andil sebesar 44 persen diikuti beras dengan andil 7 persen.

Persoalan utama yang memicu naiknya harga cabai di Ranah Minang akibat melonjaknya kebutuhan seperti saat Lebaran dan berkurangnya pasokan karena turunnya produksi disebabkan gagal panen.

Pada 2014 Sumbar pernah mencatatkan rekor sebagai provinsi dengan inflasi tertinggi di Indonesia yaitu 11, 85 persen dan 2015 menjadi daerah dengan inflasi terendah di Tanah Air dengan angka 1,08 persen.

Berdasarkan hasil survei Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKSBE) Universitas Negeri Padang (UNP), kebutuhan cabai warga Kota Padang mencapai 36,91 ton per hari.

"Dari 36,91 ton tersebut, sebanyak 22,5 ton dipasok dari Jawa Tengah dan sisanya berasal dari hasil produksi petani lokal," kata Peneliti PKSBE Universitas Negeri Padang, Johan Marta.

Menurutnya kondisi itu mengakibatkan pergerakan harga cabai di Padang ditentukan oleh tingkat harga di Pulau Jawa serta kelancaran proses pengirimannya.

Johan mengatakan karena tingginya konsumsi cabai tersebut, menjadi salah satu komponen utama yang memengaruhi angka inflasi di Sumbar jika stok di pasar berkurang atau menghilang.

Beranjak dari kondisi itu Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sumbar terus mencari formulasi yang tepat agar inflasi lebih terkendali.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengatakan berbagai upaya sudah coba dilakukan untuk menekan gejolak harga cabai agar inflasi bisa terkendali.

Salah satu program yang dirancang Pemerintah provinsi Sumatera Barat pada 2017 adalah mewajibkan semua Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan provinsi menanam cabai di pekarangan atau polybag.

"Ada 23 ribu ASN di lingkungan Pemprov Sumbar, semuanya akan diberikan bibit cabai untuk dibudidayakan di rumah masing-masing sehingga pada waktu tertentu cabai tidak lagi langka," katanya.

Ia menyampaikan untuk bibit disiapkan oleh Dinas Pertanian dan akan dibagikan secara gratis sehingga ASN cukup merawat saja dan memanen ketika sudah berbuah.

"Bisa dibayangkan kalau satu ASN menanam 10 batang cabai, dan dilakukan oleh 23 ribu ASN tentu hasilnya bisa memenuhi kebutuhan cabai," ujarnya.

Irwan memastikan untuk bibit akan diupayakan bahkan ia berencana menghubungi langsung Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk memberikan bibit.

Jika ternyata berlebih maka akan dilanjutkan dengan pembagian bibit cabai untuk siswa SMA karena saat ini pengelolaannya sudah berada di bawah provinsi, katanya.

Kalau siswa membawa pulang masing-masing lima batang tentu akan ikut membantu pemenuhan kebutuhan cabai pada tingkat rumah tangga, lanjut dia.

Ia juga meminta kepala daerah ikut mendorong penanaman cabai di pekarangan dalam bentuk mengalokasikan bantuan bibit.

"Jadi setiap rumah yang ada di Sumbar itu ada tanaman cabai, bukan hanya tanaman hias saja," kata dia.

Kini di rumah dinas Gubernur, Irwan telah mempraktikan dengan menanam cabai di polybag.

Irwan juga meminta bupati dan wali kota di provinsi itu mengidentifikasi pemicu inflasi di daerah masing-masing dan mencari solusinya hingga tuntas.

"Rumusan pengendalian inflasi benar-benar harus dapat ditindaklanjuti dalam bentuk aksi nyata," ujarnya.

Sementara Kepala Bank Indonesia perwakilan Sumbar, Puji Atmoko menyampaikan pada 2016 cabai merah dan beras menjadi penyumbang inflasi utama dengan andil masing-masing 44 persen dan tujuh persen dengan total inflasi tahunan 4,89 persen.

Dari 12 bulan cabai merah menjadi penyumbang inflasi sebanyak 11 bulan , beras delapan bulan, bawang merah lima kali, kata dia.

Ia memperkirakan pada 2017 inflasi Sumbar akan dipengaruhi penaikan harga BBM karena berdasarkan sejarah sebelumnya hal itu berdampak langsung oada harga barang yang diatur pemerintah dan mempengaruhi pangan bergejolak.

Operasi Pasar

Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional Sumatera Barat mengemukakan operasi pasar cabai merah sebagai salah satu strategi mengendalikan harga komoditas tersebut belum dapat dilaksanakan karena terkendala dengan tidak adanya cold storage atau ruang pendingin.

Untuk di Sumbar Bulog belum punya, memang ada fasilitas yang diberikan Pemprov Sumbar berlokasi di Bukittinggi namun kondisinya tidak dapat digunakan karena rusak, kata Kepala Bulog Divre Sumbar, Benhur Nkaimi.

Ia mengatakan ruang pendingin yang diberikan kewenangan oleh Pemprov Sumbar tersebut memiliki kapasitas 40 ton dan akan segera diperbaiki.

Jadi mekanisme operasi pasar cabai Bulog akan membeli dari petani saat panen dengan harga yang memadai dan ideal untuk petani, kata dia.

Ia memastikan Bulog akan menjaga keseimbangan harga agar konsumen tidak terbebani dan petani tetap untung sehingga bergairah menanam cabai.

Ini merupakan upaya mencegah terjadi gejolak harga agar tidak ada lagi lonjakan hingga Rp80 ribu per kilogram bahkan Rp100 ribu per kilogram, lanjut dia.

Ia menargetkan pada tahun ini ruangan pendingin itu bisa beroperasi agar dapat dilakukan operasi pasar cabai sehingga harga menjadi lebih stabil. (*)